jWySnXSOiSNp62TYu6mfgWzHJ85FbojSrxRGMNPP
Favorit

Antara Takut dan Waspada: Kenapa Saya Enggan Naik Bus Lagi

Pengalaman pribadi tentang bahaya bus ugal-ugalan di jalan, risiko kecelakaan, dan mengapa saya memilih menghindari bus demi keselamatan.

Ada banyak cara untuk sampai ke tujuan.

Sebagian orang nyaman naik bus, sebagian lagi memilih kendaraan pribadi karena alasan waktu dan privasi.

Tapi buat saya, bus bukan sekadar alat transportasi ia adalah ruang campur aduk antara sabar, takut, dan berharap cepat sampai.

Setiap orang punya cerita sendiri tentang perjalanan.

Ada yang menikmati hiruk pikuk jalan raya, ada yang menemukan ketenangan di kursi penumpang sambil melihat jendela berembun.

Tapi buat saya, pengalaman naik bus justru mengajarkan satu hal penting: bahwa rasa aman itu bukan sesuatu yang bisa ditawar.

Transportasi umum, termasuk bus, tentu sangat membantu mobilitas banyak orang.

Tapi seiring waktu, saya mulai kehilangan rasa percaya pada kendaraan besar yang seharusnya membawa kita dengan tenang dari satu kota ke kota lain.

Bukan karena bus-nya, tapi karena perilaku sebagian sopir yang seperti lupa bahwa di balik setir, ada nyawa orang lain yang ikut bergantung.

Perilaku Ugal-Ugalan di Jalan

Kalau kamu pernah naik bus antarkota atau antarprovinsi, mungkin tahu rasanya ketika bus menyalip kendaraan lain dengan jarak yang nyaris tidak masuk akal.

Deg-degan, tangan refleks meremas kursi, dan mata hanya bisa berpaling ke luar jendela sambil pura-pura tenang.

Saya beberapa kali melihat sendiri sopir bus yang ngebut seperti sedang balapan, menyalip di tikungan, bahkan menerobos lampu merah.

Bagi mereka mungkin itu soal kecepatan, tapi bagi penumpang, itu soal keselamatan.

Satu detik ceroboh bisa berakhir fatal.

Masalahnya bukan cuma di jalan tol, tapi juga di jalan-jalan dalam kota.

Kadang bus berhenti mendadak di tengah jalan hanya untuk menaikkan penumpang, bikin kendaraan di belakang kaget.

Ada juga yang sengaja menyalip dari bahu jalan, seolah aturan lalu lintas hanya sekadar saran.

Ketakutan yang Semakin Bertumbuh

Berita tentang kecelakaan bus bukan lagi hal langka.

Setiap kali mendengar kabar semacam itu, saya seperti diingatkan lagi pada pengalaman pribadi.

Ada semacam rasa getir yang susah dijelaskan, antara marah dan sedih.

Bukan hanya soal korban jiwa, tapi soal rasa lengah yang terus diulang.

Kadang kecelakaan itu disebabkan rem blong, kadang karena sopir kelelahan, tapi di balik itu sering ada faktor kebiasaan: terburu-buru, kurang istirahat, dan minim pengawasan.

Dari situ saya sadar, keselamatan di jalan itu bukan cuma soal siapa yang bisa mengemudi, tapi siapa yang mau bertanggung jawab atas kendaraannya.

Pengalaman yang Sulit Dilupakan

Saya masih ingat satu perjalanan pulang naik bus malam.

Jalanan gelap, sopir melaju di atas kecepatan wajar.

Setiap kali bus bergoyang karena jalan bergelombang, jantung ikut berdebar.

Saya mencoba tidur, tapi suara mesin dan getaran kendaraan bikin sulit memejamkan mata.

Dalam diam, saya cuma bisa berdoa semoga semua penumpang sampai tujuan tanpa insiden.

Saat itu saya sadar, rasa takut yang tumbuh di perjalanan bukan cuma karena bahaya di luar sana, tapi juga karena kita tak punya kendali atas apa pun, bahkan arah hidup kita beberapa jam ke depan, sepenuhnya di tangan orang lain.

Tidak Semua Sama, Tapi Rasa Takut Itu Nyata

Tentu tidak adil kalau menyamaratakan semua sopir bus.

Banyak yang profesional, disiplin, dan tahu batas kecepatan.

Tapi pengalaman buruk sekali saja sudah cukup untuk menanamkan rasa takut yang lama hilangnya.

Ketika tubuh tegang setiap kali bus mulai menyalip, atau mata refleks menatap spion mencari tanda bahaya, di situ saya tahu: trauma kecil itu masih ada.

Bukan kebencian, hanya bentuk kewaspadaan yang terlalu sering dilatih.

Dan mungkin, di antara semua alasan logis yang bisa saya sebutkan, alasan paling jujur kenapa saya enggan naik bus lagi sederhana saja, saya ingin merasa aman.

Harapan untuk Jalan yang Lebih Aman

Saya berharap pengawasan terhadap sopir bus bisa lebih serius, bukan hanya saat ada razia atau kejadian besar.

Karena yang kita bicarakan bukan angka statistik, tapi nyawa manusia.

Perusahaan transportasi seharusnya memastikan sopirnya cukup istirahat, tidak bekerja berlebihan, dan diberi pelatihan soal keselamatan berkendara.

Sama pentingnya dengan penumpang yang juga perlu berani menegur jika merasa tidak nyaman.

Keselamatan bukan cuma tanggung jawab sopir, tapi juga budaya bersama.

Dan itu dimulai dari hal kecil: menghargai nyawa orang lain di jalan.

Menutup Cerita di Kursi Penumpang

Mungkin suatu hari saya akan kembali naik bus, kalau kepercayaannya sudah pulih.

Tapi untuk sekarang, saya memilih cara lain untuk bepergian.

Mungkin lebih mahal, mungkin lebih lama, tapi saya bisa tenang di kursi tanpa jantung berdebar setiap kali bus menikung.

Perjalanan seharusnya memberi ruang untuk melihat, bukan untuk takut.

Dan kadang, memilih moda transportasi bukan soal gengsi atau kepraktisan, tapi soal menghargai rasa tenang yang selama ini kita cari di tengah jalanan yang sibuk.

Karena bagi saya, pulang dengan selamat selalu lebih penting daripada tiba dengan cepat.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.


Posting Komentar
Boleh banget tinggalin komentar di bawah. Kalau mau dapet kabar tiap ada yang bales, tinggal centang aja kotak “Beri Tahu Saya”. Simpel banget.