Realistis Dulu, Idealis Nanti: Belajar Menyeimbangkan Mimpi dan Kenyataan dalam Dunia Kerja
Antara Keinginan dan Kenyataan
“Maunya kerja santai, tapi gajinya pengin fantastis.” Kalimat itu lucu, tapi jujur banget.
Karena kalau dipikir-pikir, di zaman sekarang banyak banget yang pengin hasil besar tanpa pengorbanan yang sepadan.
Kita pengin hidup enak, tapi nggak mau ribet.
Pengin sukses, tapi nggak tahan proses.
Padahal dunia kerja itu bukan mesin ajaib yang bisa langsung kasih hasil dari satu kali klik.
Semua yang besar, selalu dibangun dari yang kecil.
Semua yang indah, pasti lewat fase nggak nyaman dulu.
Saya pun pernah ngerasain hal yang sama.
Dulu mikirnya, kerja itu yang penting nyaman - bisa rebahan kapan aja, waktu fleksibel, dan tetap punya pemasukan besar.
Tapi kenyataan di lapangan nggak segampang itu.
Yang kerja santai, biasanya gajinya juga “santai”.
Yang pengin gaji tinggi, ya harus rela kerja keras, terus belajar, dan siap ditekan oleh target dan tanggung jawab.
Jadi, kalau dipikir-pikir... kadang kita bukan kekurangan kesempatan, tapi kurang realistis dalam menakar kemampuan dan keinginan.
Antara Idealisme dan Realita
Boleh banget punya idealisme.
Semua orang pasti punya mimpi dan prinsip tentang bagaimana hidup yang mereka mau.
Tapi masalahnya, dunia nyata nggak selalu jalan sesuai idealisme kita.
Ada yang pengin kerja di bidang yang disuka, tapi kenyataannya malah dapat kerjaan yang nggak sesuai passion.
Ada yang pengin jadi bos, tapi masih harus belajar sabar jadi karyawan dulu.
Dan itu nggak salah. Karena setiap perjalanan punya tahapnya masing-masing.
Kita sering terjebak di kalimat, “Aku pengin kerja sesuai passion.”
Padahal, nggak semua orang punya kemewahan buat langsung hidup dari passion-nya.
Kadang passion itu butuh disubsidi dulu oleh kerja realistis.
Biar bisa bertahan, sambil pelan-pelan nyiapin jalan buat idealismenya tumbuh.
Yang penting bukan berhenti mimpi, tapi tahu kapan harus kompromi.
Karena tanpa keseimbangan antara idealis dan realistis, kita cuma akan capek sendiri.
“Yang Realistis Aja Udah Susah, Apalagi Idealis”
Kalimat di gambar itu sebenarnya tamparan halus.
Bukan buat mematahkan semangat, tapi biar kita sadar kalau hidup itu perlu pijakan yang kokoh sebelum melompat tinggi.
Contoh paling sederhana: Kamu pengin kerja santai tapi gaji besar?
Oke, tapi gimana skill-mu?
Kalau kamu punya keahlian yang langka, mungkin bisa.
Tapi kalau skill masih umum, ya wajar kalau nilainya belum seberapa.
Karena dunia kerja itu kayak pasar - nilai kita tergantung seberapa besar manfaat yang bisa kita kasih.
Mau gaji fantastis? Bangun nilai diri dulu.
Perbanyak jam terbang, perkuat keahlian, tambah relasi, dan jangan takut mulai dari bawah.
Karena yang realistis itu bukan menyerah pada keadaan, tapi paham bahwa setiap hal besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten.
Nyatanya, Semua Butuh Usaha
Saya pernah ngobrol sama teman yang udah kerja bertahun-tahun.
Dia bilang, “Kerja santai itu ada, tapi cuma buat orang yang udah kerja keras dulu.” Dan kalimat itu benar banget.
Banyak orang pengin “hasil akhir” dari orang sukses, tapi nggak pengin lewat “proses awalnya.”
Padahal, di balik kerja santai yang kelihatan enak, ada kerja keras bertahun-tahun yang nggak kelihatan.
Ada lembur, ada gagal, ada nangis diam-diam, ada revisi yang nggak habis-habis, ada kritik, dan ada rasa pengin nyerah - tapi nggak jadi nyerah.
Yang santai itu bukan pekerjaannya, tapi orangnya yang udah bisa ngatur ritme karena pernah jungkir balik duluan.
Jadi, Harus Realistis atau Idealis?
Jawabannya: dua-duanya. Realistis biar kita nggak jatuh dalam kekecewaan, idealis biar kita nggak kehilangan arah.
Realistis bikin kita paham dunia sebagaimana adanya.
Idealis bikin kita punya alasan untuk tetap melangkah.
Kalau dua hal ini seimbang, hidup jadi lebih tenang.
Kita nggak mudah iri sama pencapaian orang lain, dan nggak gampang minder kalau hasil kita belum sebesar yang diimpikan.
Karena yang paling penting itu bukan seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa konsisten kita berjalan.
Kadang orang yang jalannya pelan tapi stabil, justru lebih dulu sampai dibanding yang ngebut tapi berhenti di tengah.
Belajar Nikmati Proses, Bukan Cuma Hasil
Kita hidup di zaman yang serba cepat - pesan makanan bisa dalam 10 menit, scroll media sosial langsung dapat inspirasi, buka YouTube bisa lihat kisah sukses orang dalam 8 menit.
Tapi yang sering kita lupa: mereka nggak sukses dalam 8 menit.
Butuh bertahun-tahun perjuangan di balik setiap video pendek yang kita tonton.
Dan kalau kita cuma bandingin hasil, kita bakal terus ngerasa ketinggalan.
Maka belajar nikmatin proses itu penting. Karena di sanalah rasa “hidup” sebenarnya.
Saat kita berjuang, gagal, bangkit lagi, ngerasa lelah tapi tetap jalan - itu justru momen yang bikin kita tumbuh.
Sukses yang terlalu cepat, sering kali nggak kuat lama.
Tapi yang pelan dan matang, biasanya bertahan lebih lama.
Menutup Seduhan: Tentang Kerja, Hidup, dan Rasa
Hidup ini memang nggak selalu seindah yang kita bayangin.
Kadang kenyataan jauh banget dari ekspektasi, tapi bukan berarti hidup kita salah.
Mungkin kita cuma lagi belajar menyeimbangkan dua hal: antara yang bisa kita capai sekarang dan yang pengin kita capai nanti.
Kerja keras nggak selalu harus bikin stres, dan kerja santai nggak harus berarti malas.
Yang penting adalah tahu kapasitas diri, tahu arah, dan tahu kapan harus menambah tenaga atau menurunkan kecepatan.
Kalau kata teman saya: “Realistis itu bukan berarti nyerah dari mimpi, tapi belajar bertanggung jawab atas mimpi itu sendiri.”
Kadang saya juga nulis refleksi ringan soal kerja, hidup, dan proses di Instagram. Kalau mau baca versi pendeknya atau sekadar mampir ngobrol, bisa ke @muhammadnurislam.str.
Karena kadang, yang kita butuh bukan motivasi tinggi,
tapi secangkir kesadaran kecil tentang realita yang sebenarnya.
