Do’a Gak Harus Panjang, Asal Tulus dan Konsisten Kayak Langganan Kopi Pagi
Ada satu hal kecil yang akhir-akhir ini sering banget kepikiran: kenapa kita kadang merasa doa itu harus panjang, ribet, dan penuh kata-kata indah?
Padahal kalau dipikir-pikir, hidup aja udah cukup rame, masa iya komunikasi paling jujur antara diri sendiri dan Tuhan harus dibuat serumit itu?
Aku jadi kepikiran, mungkin doa itu lebih mirip kebiasaan ngopi pagi.
Kamu tahu kan, ritual kecil tapi konsisten yang bikin hari lebih ringan?
Kayak tiap pagi kita mampir ke warung atau bikin kopi sendiri di rumah, gak perlu mikir, gak perlu drama, langsung aja bikin.
Sederhana. Tapi kalau gak dijalani, kayak ada yang kurang.
Doa juga begitu. Gak perlu panjang atau puitis.
Gak harus diatur-atur kayak caption Instagram. Bahkan gak perlu suara yang penting ada niat, ada waktu yang disisihin, dan ada rasa tulus yang keluar begitu aja tanpa dipaksa.
Doa Itu Bukan Tentang Banyaknya Kata
Pernah suatu kali aku doa panjang banget. Sampai bingung sendiri sebenarnya aku minta apa.
Di tengah-tengah doa, otak malah ngelantur mikir besok kerja gimana, makan apa, bahkan nyampe mikir kenapa galon tiba-tiba habis di momen penting.
Hasilnya? Doanya panjang, tapi hati terasa kosong.
Lalu di lain hari, aku cuma bilang satu kalimat pendek. Gak sampai 10 detik.
Tapi entah kenapa, rasanya tepat sasaran. Ngena. Kayak hatiku bener-bener nyambung sama Tuhan saat itu.
Dan aku sadar, ternyata yang bikin doa itu “hidup” bukan panjangnya kalimat, tapi apakah kita benar-benar hadir dalam detik itu.
Kayak ngobrol sama orang yang kita sayang. Kadang satu kalimat “aku capek sebenarnya” punya makna lebih dalam daripada ceramah 10 paragraf.
Tuhan kayaknya juga sama. Dia tahu isi hati kita sebelum kita bicara. Kita cuma perlu jujur.
Konsistensi Lebih Penting Dari Dramatisasi
Ada fase di mana aku ngerasa doaku kok gitu-gitu aja.
Kadang cuma tiga detik, kadang lupa, kadang kelewat, kadang cuma bisik kecil saat lagi jalan ke kamar mandi pagi-pagi.
Tapi lama-lama aku sadar, justru konsistensi kecil itu yang bikin hubungan spiritual terasa lebih nyata.
Sama kayak kopi pagi.
Kamu gak tiap hari ngopi sambil foto aesthetic, kan? Kebanyakan sih cuma nyeduh, ngaduk sebentar, dan langsung minum.
Tapi konsistensi itulah yang bikin ritual itu punya “arti”.
Doa juga begitu. Gak perlu dipamerin, gak perlu dibagusin.
Yang penting dilakukan. Tetap setia bahkan ketika mood naik-turun.
Karena pada akhirnya, doa bukan soal efek dramatis yang harus kerasa saat itu juga.
Bukan soal harus tiba-tiba tercerahkan atau dapet jawaban megah dari langit.
Kadang doa cuma bikin kita merasa ditemani, dan itu udah cukup banget.
Doa Pendek Itu Kayak Nafas
Semakin dewasa, aku makin paham bahwa doa itu bukan momen besar.
Doa itu bukan acara formal.
Doa itu lebih mirip nafas selalu ada, kadang kita sadari, kadang enggak, tapi tetap penting.
Bahkan kadang doa itu cuma: “Ya Allah, bantu aku.” Atau: “Terima kasih.” Atau: “Tolong tenangkan hati ini.” Itu aja udah bisa bikin langkah terasa lebih ringan.
Beberapa waktu lalu, aku sempat baca kalimat sederhana: “Doa itu bukan mengubah Tuhan, tapi mengubah hati kita.”
Dan itu ngena banget. Kadang kita datang dengan ratusan permintaan, tapi pulang cuma membawa ketenangan dan itu sudah jawaban yang paling kita butuhkan.
Yang Tulus Selalu Lebih Sampai
Kita hidup di zaman di mana banyak hal harus terlihat sempurna.
Postingan harus rapi. Kata-kata harus indah. Makanan harus estetik.
Tapi untungnya, hubungan kita sama Tuhan gak pernah ikut standar itu.
Tuhan gak nuntut kalimat rumit. Gak minta kita pakai kata-kata puitis atau istilah tinggi.
Dia cuma nunggu kita datang.
Mau itu setengah mengantuk, sambil nyuci piring, sambil nahan nangis, atau sambil nyetirin motor jam enam pagi saat jalanan masih sepi.
Doa yang tulus itu biasanya sederhana. Kadang cuma satu detik.
Tapi dari satu detik itu, hati bisa terasa lebih lega, lebih lurus, dan lebih damai. Tuhan ngerti bahasa hati, bahkan ketika bibir gak mengeluarkan kata apa-apa.
Konsistensi itu Bentuk Cinta
Doa pendek yang dilakukan setiap hari itu kayak tanda sayang kecil.
Mirip kayak kita ngecek kabar orang yang kita peduli.
Gak harus panjang, gak harus romantis, yang penting ada. Ada usaha. Ada niat. Ada hubungan yang dijaga.
Dan mungkin, kalau dipikir-pikir, cinta memang bekerja dalam hal-hal kecil seperti itu.
Termasuk cinta kita kepada Tuhan.
Bukan soal ritual rumit, tapi tentang hati yang nyamperin, sedikit demi sedikit, hari demi hari.
Akhirnya Aku Paham
Doa itu bukan kompetisi siapa paling panjang.
Doa itu bukan karya sastra. Doa itu bukan tugas wajib yang harus diselesaikan biar dapat nilai bagus.
Doa itu lebih kayak ritual pagi kamu: sesederhana menikmati kopi favorit yang kamu minum bukan karena ingin terlihat keren, tapi karena memang itu membuatmu merasa hidup.
Jadi kalau akhir-akhir ini kamu ngerasa doamu kurang panjang, kurang indah, atau kurang “standar” tenang.
Kamu gak salah apa-apa. Kadang justru yang pendek dan sederhana itu lebih jujur. Lebih manusiawi. Lebih nyampe.
Karena pada akhirnya, yang Tuhan lihat itu bukan panjangnya kata-kata, tapi hati yang datang tanpa pura-pura.
Doa itu kayak kopi pagi: yang penting ada, tulus, dan konsisten.
