Perasaanmu Valid, Walaupun Orang Lain Nggak Paham
Kadang kita punya hari yang aneh, hari ketika hati terasa berat, tapi kalau ditanya kenapa, kita sendiri bingung jawab apa.
Atau mungkin kita pernah cerita sesuatu yang benar-benar mengganggu kita, tapi orang lain cuma menanggapinya dengan, “Ah, gitu doang?” atau “Kamu lebay, kali.”
Di momen seperti itu, rasanya kayak ada pintu di dalam diri yang ditutup dari luar. Kita masih berdiri di dalamnya, masih merasakan semuanya, tapi dunia di luar seolah nggak peduli.
Dan di situ kita mulai mempertanyakan diri sendiri: “Apa aku yang terlalu sensitif?” “Apa perasaanku nggak penting?” “Apa aku salah ngerasain ini?”
Padahal kenyataannya sederhana: perasaanmu valid. Sangat valid, bahkan ketika orang lain nggak paham, nggak relate, atau bahkan nggak peduli.
Setiap Orang Punya Dunia Emosinya Sendiri
Yang sering kita lupa adalah tiap orang punya pengalaman hidup, latar belakang, dan luka yang beda-beda.
Karena itu, sesuatu yang kecil buat seseorang bisa jadi besar buat orang lain. Sesuatu yang sepele buat orang lain bisa jadi berat buat kita.
Contohnya, ada orang yang santai aja kalau ditegur keras. Tapi buat orang yang tumbuh di lingkungan penuh teriakan, satu nada tinggi aja bisa bikin hati langsung ciut. Sama kejadian, beda pengaruh, beda rasa.
Makanya nggak heran kalau kadang kita merasa nggak dipahami, karena memang nggak semua orang punya “kamus emosional” yang sama dengan kita.
Ketika Orang Lain Meremehkan Perasaanmu
Pernah nggak, kamu cerita sesuatu yang benar-benar berat buatmu, tapi orang yang kamu percaya malah bilang:
“Itu mah cuma pikiran kamu aja.” “Yah, hidup emang gitu.” “Kamu terlalu dramatis.” “Udahlah, jangan baper.”
Padahal kamu nggak butuh semua itu. Kamu cuma butuh didengarkan. Dimengerti. Divalidasi.
Dan ketika mereka meremehkan, dampaknya bisa panjang. Kita jadi takut cerita lagi. Takut dianggap remeh. Takut kelihatan lemah.
Takut dikatain lebay. Lalu pelan-pelan kita simpan semuanya sendirian, sampai rasanya tumpukannya bikin sesak.
Beda Sudut Pandang, Bukan Berarti Kamu Salah
Kadang orang lain nggak paham perasaan kita bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka nggak pernah mengalami hal yang sama. Mereka pakai kacamata mereka sendiri buat menilai apa yang kita rasakan.
Kalau kamu sedih karena kehilangan sesuatu, sementara orang lain nggak pernah merasa kehilangan itu, ya wajar kalau mereka nggak bisa merasakan kedalamannya.
Kalau kamu cemas menghadapi situasi tertentu, dan mereka nggak pernah punya kecemasan yang sama, ya wajar kalau mereka merasa itu hal kecil.
Tapi bukan berarti kamu salah. Bukan berarti kamu lebay. Bukan berarti kamu kurang kuat.
Itu cuma berarti kamu manusia dengan pengalaman yang berbeda.
Valid Bukan Berarti Benar, Tapi Layak Didengar
Banyak orang salah paham soal validasi. Validasi itu bukan bilang kamu benar atau orang lain salah. Validasi itu bukan tentang menyetujui semua tindakan dan reaksi.
Validasi itu tentang mengakui bahwa apa yang kamu rasakan itu nyata. Bahwa rasa sakitmu bukan halusinasi. Bahwa kecemasanmu bukan khayalan. Bahwa kesedihanmu bukan “kurang bersyukur.”
Validasi bilang: “Aku ngerti kamu lagi ngerasain sesuatu.” Bukan: “Kamu harus benar.”
Dan itu cukup.
Tidak Ada Perasaan yang “Kebanyakan”
Banyak dari kita tumbuh dalam budaya yang suka ngatur-ngatur perasaan orang lain. Dikit-dikit dibilang lebay. Dikit-dikit dibilang baper. Dikit-dikit dibilang kurang kuat.
Padahal, manusia memang punya spektrum emosi yang luas. Kita bisa sedih karena hal kecil. Bisa marah karena hal sepele. Bisa tersentuh karena gesture sederhana. Bisa overthinking tanpa alasan yang jelas.
Itu bukan kelemahan. Itu bagian dari jadi manusia.
Dan justru orang yang berani merasakan adalah orang yang berani jujur dengan dirinya sendiri.
Kamu Berhak Merasa, Meskipun Tidak Bisa Menjelaskan
Ada perasaan yang mudah dijelaskan, tapi ada juga yang cuma bisa dirasakan. Kamu boleh nangis tanpa alasan jelas. Kamu boleh tiba-tiba cemas. Kamu boleh sedih tanpa tahu penyebabnya. Kamu boleh marah tanpa bisa menyusun kalimat logis.
Kadang hati lebih cepat berbicara daripada otak. Dan itu nggak apa-apa. Kamu nggak harus selalu punya penjelasan panjang untuk membenarkan perasaanmu.
Rasa itu bukan matematika. Nggak harus selalu ada rumusnya.
Penolakan Tidak Menghapus Nilai Emosi
Kalau orang lain nggak paham, tidak mendengarkan, atau bahkan mengabaikan perasaanmu, itu nggak menghapus validitasnya. Itu hanya menunjukkan keterbatasan mereka dalam memahami, bukan keterbatasanmu dalam merasakan.
Kamu tetap punya hak penuh atas apa yang kamu rasakan. Orang lain tidak punya kekuasaan untuk menentukan sah tidaknya suatu emosi.
Kamu Boleh Berhenti Mencari Pemahaman Dari Semua Orang
Tidak semua orang merit kita buka ruang hati. Tidak semua orang pantas dengar cerita kita. Tidak semua orang mampu memegang pelan-pelan perasaan yang kita bawa.
Dan itu wajar. Bukan tugasmu supaya semua orang paham.
Kadang cukup satu atau dua orang yang benar-benar bisa mendengarkan dengan hati. Atau bahkan cukup diri sendiri. Karena kadang yang paling kita butuhkan bukan dipahami orang lain, tapi diterima oleh diri kita sendiri.
Penutup: Perasaanmu Tidak Pernah Salah Arah
Perasaan itu bukan musuh. Dia adalah kompas yang menunjukkan apa yang sedang terjadi di dalam diri. Bahkan ketika dunia luar bilang kamu lebay, terlalu sensitif, atau terlalu ribut, kompas itu tetap bekerja.
Jadi lain kali ada yang bilang perasaanmu berlebihan atau nggak masuk akal, ingatkan diri ini:
“Aku berhak merasa seperti ini. Perasaanku valid.”
Dan kalau dunia tetap nggak paham? Nggak apa-apa. Yang penting kamu paham dirimu sendiri.
Pelan-pelan saja. Jadilah manusia seutuhnya. Dengan semua rasanya.
