Kadang yang Berat Bukan Masalahnya, Tapi Cara Kita Berpura-pura Santai
Ada satu hal yang sering banget kebawa dalam hidup: kadang yang bikin pusing bukan masalahnya, tapi mikirin gimana caranya supaya tetap kelihatan santai di depan orang lain.
Lucu ya?
Kita sibuk nge-manage ekspresi, padahal isi kepala udah kayak pasar malam - ramai, bising, dan penuh lampu warna-warni yang nggak tahu kapan mati sendiri.
Aku sering mikir, kenapa kita segitu kerasnya buat terlihat baik-baik aja?
Apa karena takut dibilang drama?
Takut merepotkan orang?
Atau mungkin… ya karena kita terbiasa menggendong beban tanpa suara.
Lama-lama, kemampuan pura-pura santai itu berasa kayak skill gelap yang kita pelajari tanpa sengaja.
Topik ini semacam refleksi kecil tentang gimana sebenarnya bukan masalah itu sendiri yang paling berat, tapi beban buat tetap tampil "normal".
Dan kalau kamu baca ini sambil merasa relate, ya aman berarti kita sama-sama manusia.
Batas Tipis Antara Kuat dan pura-pura Kuat
Ada masa ketika aku bangga bisa ngadepin banyak hal tanpa cerita ke siapa pun.
Rasanya keren aja, kayak main game pakai mode hard tapi berhasil lewat tiap level sendirian.
Tapi makin ke sini, aku sadar… kadang yang bikin lelah itu bukan masalahnya, tapi kebutuhan untuk terlihat "baik-baik saja".
Capek itu loh, nyembunyiin kegelisahan sambil tetap senyum, jawab chat dengan emoji yang ceria, atau bilang “nggak apa-apa kok” padahal dalam hati lagi gempa skala delapan.
Jujur, pura-pura kuat sering bikin lelah dua kali lipat.
Karena selain harus mikirin cara nyelesaiin masalah, kita juga harus mikirin cara supaya orang nggak notice kalau kita lagi goyah.
Kenapa Bikin Diri Kelihatan Santai Itu Terasa Wajib?
Buat beberapa orang, terutama yang terbiasa mandiri, ngasih tahu orang lain bahwa kita lagi struggling itu semacam dosa sosial.
Ada rasa takut dianggap lemah, merepotkan, atau bahkan menyebalkan.
Padahal, nggak ada orang yang selalu santai.
Nggak ada manusia yang hidupnya lurus tanpa belokan.
Tapi entah kenapa, kita sangat ingin terlihat "rileks", "tenang", dan "nggak kenapa-napa".
Dan bagian yang ironis adalah: usaha buat kelihatan santai itu justru bikin hati makin ribut.
Ketika Kepala Penuh, Tapi Bibir Bilang “Aku Santai Kok”
Mungkin kamu pernah ngalamin fase ini:
- Kepala penuh pikiran.
- Tubuh capek karena kurang tidur.
- Dompet ikut stres.
- Deadline numpuk kayak cucian hari hujan.
Tapi begitu ketemu orang, kamu masih bisa bilang, “Nggak apa-apa kok, santai aja.”
Kita kayak punya tombol otomatis buat meminimalkan gejolak batin hanya supaya orang-orang di sekitar nggak perlu khawatir.
Kadang, bukan masalahnya yang menekan.
Tapi ketakutan bahwa rasa tertekan itu keliatan.
Beban yang Tidak Terlihat itu Sering yang Terberat
Ada teori kecil yang aku percaya: beban paling berat itu justru yang tidak kelihatan, termasuk beban buat menyamarkan keadaan sebenarnya.
Ibaratnya kita bawa tas penuh batu, tapi tasnya transparan.
Orang-orang cuma lihat tasnya, bukan batunya.
Mereka bilang, “Ah ringan kok,” padahal punggungmu udah pegal dari tadi.
Dan yang bikin tambah berat?
Kita tetap tersenyum sambil bilang, “Iya, ringan kok.”
Semua demi terlihat santai.
Menerima Bahwa Kita Nggak Harus Selalu Tampil Kuat
Mungkin salah satu pelajaran dewasa paling menenangkan adalah menerima bahwa kita tidak harus terlihat baik-baik saja setiap saat.
Capek itu wajar.
Pusing itu manusiawi.
Kehilangan arah itu normal.
Kadang kita cuma butuh berhenti bentar.
Menarik napas panjang.
Nggak perlu senyum palsu.
Nggak perlu menjelaskan apa-apa.
Nggak perlu fitting ulang ekspresi biar terlihat chill.
Karena jujur aja, hidup bukan konten Instagram.
Kita nggak wajib tampil polished dan aesthetic sepanjang waktu.
Belajar untuk Santai Tanpa Pura-pura
Ini bagian yang paling tricky: gimana caranya jadi santai tanpa harus pura-pura santai?
Menurutku, santai itu bukan tentang “menutupi” masalah, tapi menerima bahwa masalah itu ada.
Santai itu bukan menolak kenyataan, tapi membiarkan diri menghadapi kenyataan tanpa drama ekstra.
Kita bisa santai sambil tetap jujur, “Iya, aku lagi capek.”
Karena santai bukan berarti semuanya beres.
Santai itu keadaan pikiran, bukan keadaan hidup.
Kadang Kita Cuma Perlu Jujur pada Diri Sendiri
Lucu ya, dari semua orang yang kita khawatirkan bakal menilai kita… yang paling sering justru diri kita sendiri.
Kita takut keliatan rapuh di mata sendiri.
Padahal, jujur pada diri sendiri itu salah satu bentuk self-care paling underrated.
Mengakui, “Aku lagi kesulitan,” bukan berarti menyerah.
Itu justru langkah awal menuju penyelesaian yang lebih jernih.
Karena kita berhenti berpura-pura jadi versi yang terlalu sempurna untuk ditanggung.
Hidup Jadi Lebih Ringan Saat Nggak Perlu Pura-pura
Kalau aku boleh jujur, beberapa momen paling damai dalam hidup itu datang setelah aku berhenti berusaha terlihat santai.
Setelah aku berhenti memaksa ekspresi tenang dan mulai bilang: “Aku lagi nggak baik, tapi aku bisa pelan-pelan.”
Tiba-tiba, beban itu turun.
Nggak hilang sih, tapi nggak seberat tadi.
Karena sekarang aku cuma fokus ke masalahnya, bukan fokus ke image supaya terlihat baik-baik aja.
Akhir Kata: Kita Semua Punya Ceritanya Masing-masing
Kalau hari ini kamu merasa berat, mungkin bukan karena masalahmu besar… tapi karena kamu terlalu keras berusaha terlihat santai.
Kamu nggak salah.
Kamu cuma manusia yang ingin dihargai tanpa terlihat “lemah”.
Tapi percayalah, berhenti pura-pura bukan berarti kamu kalah.
Justru itu langkah kecil menuju hati yang lebih ringan dan kepala yang lebih tenang.
Jadi, kalau besok ada yang tanya, “Kamu baik-baik aja?”, boleh kok jawab jujur tanpa drama, tanpa tekanan “Aku lagi nggak santai, tapi aku bisa jalan pelan-pelan.”
Kadang, itu sudah lebih dari cukup.
