jWySnXSOiSNp62TYu6mfgWzHJ85FbojSrxRGMNPP
Favorit

Dunia Sosial Itu Unik: Semua Mau Didengar, Tapi Jarang Mau Memahami

Refleksi ringan tentang dunia sosial yang unik: semua ingin didengar, tapi hanya sedikit yang benar-benar mau memahami.

Ada satu hal yang semakin terasa seiring kita tumbuh dan berinteraksi dengan lebih banyak orang: dunia sosial itu benar-benar unik.

Kadang lucu, kadang melelahkan, kadang bikin mikir, dan kadang bikin kita pengen ngilang saja untuk sementara.

Tapi ada satu pola besar yang selalu muncul: semua orang ingin didengar, tapi hanya sedikit yang benar-benar mau memahami.

Aku nggak tahu sejak kapan fenomena ini terasa begitu jelas.

Mungkin sejak ruang-ruang sosial makin ramai, dari obrolan grup WhatsApp yang nggak pernah berhenti, timeline media sosial yang penuh pendapat, sampai percakapan sehari-hari yang terasa cepat dan berlomba-lomba buat menjawab.

Di tengah semuanya, satu hal makin kentara: kita mendengar, tapi sebenarnya tidak benar-benar menyimak.

Semua orang ingin cerita, tapi tidak semua punya energi untuk menerima cerita orang lain. Semua ingin didengarkan, tapi tidak semua siap memberi ruang.

Dan di titik itulah dunia sosial terasa semakin unik kadang indah, kadang ironis.

Semua Ingin Bicara, Tapi Siapa Yang Mau Mendengarkan?

Di zaman sekarang, kemampuan bicara sering terasa lebih dihargai daripada kemampuan memahami. Semua berlomba-lomba punya pendapat, punya suara, punya platform.

Banyak yang ingin tampil paham segalanya, ingin menunjukkan “aku tahu sesuatu”, ingin didengarkan, dipuji, diakui.

Tapi tidak banyak yang benar-benar mau menahan diri sejenak untuk memahami cerita orang lain tanpa buru-buru menyelipkan pendapat sendiri.

Aku pernah ngobrol sama teman, curhat panjang lebar soal sesuatu yang cukup mengganggu pikiranku. Baru beberapa menit cerita, dia langsung menyambar, “Iya, aku juga pernah...” lalu obrolan berubah jadi cerita tentang dirinya.

Bukan berarti dia jahat, tapi momen itu bikin aku sadar bahwa mendengarkan benar-benar membutuhkan kerendahan hati. Butuh kesediaan untuk menaruh ego di pinggir sebentar.

Dan itulah yang jarang terjadi.

Kita sering lupa bahwa seseorang yang sedang berbagi cerita mungkin hanya ingin ruang. Bukan saran, bukan kompetisi pengalaman, bukan perbandingan.

Hanya ingin didengarkan tanpa disela. Tapi refleks kita seringnya justru buru-buru merespons dengan membawa cerita kita sendiri. Seolah-olah kita harus selalu punya jawaban.

Mendengarkan Adalah Bentuk Empati Paling Sederhana

Kadang kita pikir empati itu sesuatu yang besar dan rumit, padahal bisa dimulai dari hal paling sederhana: diam dan memberi ruang.

Sayangnya, diam itu justru hal tersulit di dunia sosial. Kita takut terlihat tidak peduli kalau tidak langsung memberi saran. Kita takut dianggap tidak punya opini. Kita takut terlihat pasif.

Padahal, banyak orang tidak butuh semua itu. Mereka butuh seseorang yang benar-benar ada. Ada secara batin, bukan cuma fisik. Hadir secara penuh.

Telinga yang mendengarkan tanpa memotong. Pikiran yang mencoba memahami tanpa membuat asumsi. Hati yang memberi ruang tanpa menghakimi.

Sayangnya, kemampuan ini tidak otomatis dimiliki semua orang. Kita tumbuh dalam budaya yang sering mengutamakan respons cepat daripada respons tepat.

Kita diajari untuk membalas, bukan mendengar. Kita terbiasa berbicara, bukan memahami.

Dan di sinilah letak uniknya dunia sosial: semua orang ingin dimengerti, tapi hanya sedikit yang benar-benar mau mengerti orang lain.

Kenapa Kita Lebih Sering Ingin Didengar Daripada Mendengarkan?

Pertanyaan ini sering muncul di kepalaku. Kenapa sebenarnya kita begitu ingin didengar? Dan kenapa mendengarkan terasa lebih berat?

Mungkin karena menjadi pendengar berarti menahan ego. Sedangkan didengar memberi validasi. Ketika seseorang mendengarkan kita, kita merasa penting, diperhatikan, dihargai.

Rasanya hangat. Ada ruang kecil di hati yang plong ketika seseorang benar-benar mendengarkan cerita kita tanpa mengintervensi.

Di sisi lain, mendengarkan orang lain berarti menyediakan ruang bagi hal-hal yang bukan tentang kita. Itu butuh energi, waktu, dan kesabaran.

Kadang juga butuh keberanian untuk menghadapi cerita yang mungkin berat. Dan tidak semua orang siap atau mampu melakukan itu.

Ada orang-orang yang masih berjuang memahami dirinya sendiri, jadi sulit buat mereka memahami orang lain. Ada yang hidupnya sudah penuh sesak, sehingga tidak punya ruang untuk menampung cerita orang lain.

Ada yang ingin membantu, tapi tidak tahu caranya. Ada pula yang terlalu sibuk memikirkan respons sampai lupa bahwa memahami itu dimulai dari menerima cerita apa adanya.

Memahami Tidak Sama Dengan Menyetujui

Banyak orang salah paham tentang memahami. Mereka pikir kalau kita berusaha memahami seseorang, berarti kita harus menyetujui semua tindakannya. Padahal jauh dari itu.

Memahami adalah usaha untuk melihat alasan, perasaan, atau perspektif seseorang tanpa harus menerima semuanya sebagai kebenaran.

Memahami berarti mencoba melihat mereka sebagaimana mereka melihat dunia. Mempertimbangkan bagaimana pengalaman mereka membentuk cara mereka merespons sesuatu.

Memahami itu proses membongkar, bukan menghakimi. Dan kesediaan untuk menjalani proses ini yang jarang dimiliki banyak orang.

Kita lebih sering ingin menilai daripada memahami. Karena menilai itu lebih mudah. Tinggal bilang “ini salah” atau “harusnya gitu”, selesai.

Sementara memahami butuh waktu dan kita sering terburu-buru dalam hidup yang serba cepat ini.

Dunia Sosial Yang Terasa Ramai, Tapi Seringnya Sepi

Ironisnya, meskipun kita hidup di tengah dunia yang ramai oleh suara dan percakapan, banyak orang merasa kesepian.

Kita punya ratusan teman online, grup yang ramai, timeline penuh orang-orang yang curhat setiap detik, tapi ruang untuk benar-benar memahami satu sama lain justru makin sempit.

Di dunia yang semua pengen bicara duluan, yang mau mendengar duluan jadi langka. Dan karena itu, orang-orang yang bisa mendengarkan dan memahami terasa sangat berharga.

Mereka seperti oase kecil di tengah gurun bising. Tempat di mana kita bisa berhenti sebentar dan menarik napas.

Sekecil apa pun itu, kehadiran orang yang benar-benar mendengarkan bisa jadi penyelamat. Bisa jadi pengingat bahwa manusia masih punya sisi lembut yang nggak tergantikan oleh dunia yang serba cepat.

Mulai Dari Diri Sendiri: Mendengar Lebih Banyak, Merespons Lebih Pelan

Setelah memikirkan ini cukup lama, aku belajar bahwa dunia sosial mungkin tidak akan berubah dalam waktu dekat.

Orang-orang akan tetap ingin didengar, tetap ingin bicara duluan, tetap ingin dianggap benar. Tapi kita selalu bisa mulai dari diri sendiri.

Pelan-pelan belajar mendengarkan lebih banyak, merespons lebih sedikit.

Bukan berarti kita harus jadi tempat sampah emosi tanpa batas, bukan. Maksudnya hanya mencoba hadir lebih penuh ketika seseorang berbagi cerita.

Menahan dorongan untuk cepat menjawab. Mengambil jeda. Memberi ruang. Menanyakan dengan lembut, “Kamu pengen cerita atau pengen ditanggapin?”

Hal kecil seperti itu bisa mengubah kualitas hubungan. Bisa membuat orang merasa dihargai. Bisa memecah siklus “aku duluan” menjadi “kita sama-sama”.

Dan kalau dunia sosial penuh orang yang seperti itu, mungkin interaksi kita bisa jadi lebih hangat, lebih manusiawi, lebih ringan.

Akhir Kata: Kita Semua Ingin Didengarkan, Tapi Dunia Membutuhkan Lebih Banyak Yang Mau Memahami

Dunia sosial memang unik, dan akan selalu begitu. Di satu sisi penuh suara, di sisi lain penuh keheningan. Di satu sisi penuh orang yang ingin bicara, di sisi lain penuh yang merasa tidak didengarkan.

Kita tidak bisa mengubah dunia secara keseluruhan. Tapi kita bisa mengubah cara kita hadir di dalamnya.

Dengan mendengarkan lebih tulus, memahami lebih dalam, dan menahan diri untuk tidak selalu menjadikan cerita orang lain sebagai panggung untuk cerita kita sendiri.

Karena pada akhirnya, hubungan yang baik tidak dibangun dari siapa yang paling banyak bicara, tapi dari siapa yang paling banyak memahami.

Dan mungkin, kalau semakin banyak orang yang siap memahami, dunia sosial yang unik ini bisa jadi tempat yang lebih hangat untuk kita semua.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.


Posting Komentar
Boleh banget tinggalin komentar di bawah. Kalau mau dapet kabar tiap ada yang bales, tinggal centang aja kotak “Beri Tahu Saya”. Simpel banget.