jWySnXSOiSNp62TYu6mfgWzHJ85FbojSrxRGMNPP
Favorit

Kita Nggak Wajib Jadi Sempurna, yang Penting Nggak Nyusahin Orang Tiap Hari

Nggak ada manusia sempurna. Yang penting kita nggak nyusahin orang tiap hari dan tetap berusaha jadi versi terbaik diri sendiri.

Ada satu fase dalam hidup di mana kita sering banget ngerasa harus jadi yang paling baik, paling benar, dan paling sempurna.

Entah karena tekanan lingkungan, ekspektasi keluarga, komentar orang, atau suara halus dalam kepala kita sendiri yang suka bilang, “Harusnya kamu bisa lebih baik dari ini.”

Tapi makin ke sini, aku makin sadar satu hal sederhana yang entah kenapa kita lupakan: kita nggak wajib jadi sempurna. Serius, nggak ada surat putusan yang bilang kita harus flawless tiap hari.

Yang penting, ya itu tadi… kita nggak nyusahin orang. Itu aja udah lumayan banget nilai plus-nya di hidup.

Dan jujur, itu jauh lebih realistis daripada mengejar kesempurnaan yang bahkan manusia paling pintar, paling kaya, dan paling terkenal pun gagal capai.

Kesempurnaan itu kayak sinyal 5G di pedesaan: katanya ada, tapi seringnya hilang-timbul. Tapi menjadi manusia yang nggak nyusahin orang?

Nah yang ini masih bisa kita usahakan, meski kadang kepleset juga sesekali.

Kesempurnaan Itu Ilusi yang Kita Paksakan ke Diri Sendiri

Kalau dipikir-pikir, siapa sih yang pertama kali bilang bahwa kita harus jadi sempurna? Dunia? Orang tua? Masyarakat? Atau diri kita sendiri?

Kebanyakan ekspektasi itu tumbuh pelan-pelan dari berbagai arah. Kita melihat orang lain terlihat sukses, terlihat rapi, terlihat hebat, terus secara otomatis merasa ketinggalan.

Padahal apa yang terlihat itu seringnya cuma permukaan doang. Kita nggak lihat perjuangan mereka, kegagalan mereka, air mata jam dua pagi mereka, atau ketidaksempurnaan yang mereka tutup rapat biar citra terlihat mulus di luar.

Sementara kita sendiri terlalu keras menilai diri sendiri. Salah dikit merasa bodoh. Telat dikit merasa gagal. Nggak sesuai rencana langsung merasa hidup ini berantakan. Padahal nggak gitu juga konsepnya.

Kesempurnaan tuh standar yang bahkan pembuat standar itu sendiri nggak bisa capai.

Dan kalau dunia aja nggak sempurna, kenapa kita maksa hati dan hidup kita buat jadi sempurna?

Yang Penting Jangan Nyusahin Orang, Itu Udah Cukup Mulia

Di tengah hidup yang seruwet sekarang, jadi manusia yang nggak nyusahin orang itu udah prestasi. Beneran. Nggak harus jadi paling pintar, paling kaya, paling ideal. Cukup jadi orang yang nggak bikin hidup orang lain tambah berat.

Contohnya sederhana:

  1. Nggak bikin drama yang nggak perlu.
  2. Nggak ngambil hak orang lain.
  3. Nggak nge-judge sembarangan.
  4. Nggak lempar kerjaan ke orang lain padahal kita yang harusnya ngerjain.
  5. Nggak bikin orang lain ngerasa kecil atau salah terus.

Dan kadang, “nggak nyusahin orang” juga berarti menjaga pola hidup kita sendiri dengan baik makan yang bener, tidur yang cukup, dan ngelola stress kita sendiri supaya emosi kita nggak mental ke orang lain.

Kalau kita semua bisa menerapkan standar sederhana ini, bayangin betapa enaknya hidup. Dunia nggak butuh manusia sempurna. Dunia butuh manusia waras yang nggak bikin sesama jadi tambah capek.

Nggak Harus Selalu Benar, Nggak Harus Selalu Bisa

Poin penting lain yang sering kita lupa: manusia itu tempatnya salah. Tempatnya belajar. Tempatnya gagal. Tempatnya kadang bener, kadang bloon. Itu normal. Karena hidup itu bukan perlombaan menentukan siapa yang paling flawless.

Kita nggak harus selalu benar. Kadang kita butuh salah untuk bisa ngerti sesuatu. Butuh gagal untuk bisa kuat. Butuh tersesat dulu buat menemukan arah yang lebih pas.

Kita juga nggak harus selalu bisa. Ada hari di mana energi kita habis. Ada hari di mana kita cuma bisa rebahan dan itu udah pencapaian terbaik.

Ada waktu di mana kita nggak punya jawaban atas masalah sendiri, apalagi masalah orang lain. Itu nggak bikin kita buruk, itu bikin kita manusia.

Dan justru dengan menerima bahwa kita nggak wajib bisa semuanya, kita jadi lebih ringan menjalani hari. Lebih tenang. Lebih jujur dengan diri sendiri.

Orang Nggak Butuh Kita Sempurna, Mereka Cuma Butuh Kita Manusia

Lucunya, ekspektasi bahwa kita harus sempurna itu seringnya cuma datang dari kepala kita sendiri. Orang-orang sekitar sebenernya nggak menuntut sejauh itu. Mereka cuma butuh kita jadi manusia yang wajar-wajar aja.

Mereka butuh kita responsif secukupnya, hadir sewajarnya, membantu sebisanya, dan nggak ngeganggu hidup mereka dengan hal-hal yang seharusnya bisa kita kelola sendiri.

Selebihnya, kita bebas jadi versi diri kita yang paling jujur. Mau agak pendiam atau bawel. Mau agak lambat atau cepat. Mau agak emotional atau chill. Kita nggak harus tampil sempurna untuk bisa diterima.

Yang penting, selama kita nggak jadi beban emosional, beban sosial, atau beban kerja buat orang lain, orang pun akan nyaman-nyaman aja sama kita. Kesempurnaan itu overrated. Keramahan dan tidak bikin ribet itu jauh lebih dihargai.

Belajar Menerima Kekurangan Diri Bukan Berarti Pasrah

Sering ada salah paham soal menerima kekurangan diri. Banyak yang menganggap itu berarti pasrah atau malas berkembang.

Padahal, menerima kekurangan diri adalah langkah awal untuk tahu bagian mana yang perlu diperbaiki tanpa menyiksa diri sendiri.

Menerima kekurangan itu kayak bilang ke diri sendiri: “Oke, aku nggak jago di bagian ini. Tapi bukan berarti aku berhenti belajar.”

Itu sikap dewasa. Itu sehat. Itu waras.

Karena kalau kita memaksa diri jadi sempurna, kita bakal frustrasi tiap hari. Tapi kalau kita menerima kekurangan dengan tenang, kita bisa membangun langkah kecil yang realistis untuk berkembang tanpa drama, tanpa panik, tanpa minder terus-terusan.

Jangan Bandingin Hidup: Kesempurnaan Versi Orang Lain Belum Tentu Cocok Buat Kita

Satu hal lain yang bikin kita terobsesi sama kesempurnaan adalah kebiasaan membandingkan diri dengan hidup orang lain. Kita lihat hidup orang tampak rapi, tampak glow-up, tampak berjalan sesuai rencana, lalu kita merasa hidup sendiri kacau.

Tapi apa yang kita lihat itu cuma highlight. Bukan keseluruhan hidup mereka.

Kita fokus pada kesempurnaan versi mereka, padahal versi itu belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan perjalanan hidup kita sendiri. Kita semua punya waktu, ritme, dan caranya masing-masing untuk tumbuh.

Nggak perlu maksa diri ambil jalur orang lain kalau jalur itu bukan punya kita.

Simpulan: Jadi Manusia Biasa Itu Udah Cukup

Akhirnya, hidup nggak butuh kita jadi manusia super. Kita cuma perlu jadi manusia biasa yang tahu batas diri, tahu cara istirahat, tahu cara minta maaf kalau salah, tahu cara menghargai orang, dan yang paling penting… yang nggak nyusahin orang tiap hari.

Kita nggak wajib jadi sempurna. Kita cuma perlu tetap tumbuh tanpa menyakiti diri sendiri dan tanpa membuat hidup orang lain makin berat. Itu aja udah jadi kontribusi besar di dunia yang udah cukup ribut ini.

Jadi kalau kamu lagi ngerasa “nggak cukup baik”, tarik napas dulu. Kamu nggak harus sempurna. Kamu cukup jadi kamu.

Dan selama kamu nggak bikin hidup orang lain jadi beban tambahan, kamu udah melakukan hal besar yang kadang kita lupa menghargainya.

Jadi santai aja… tumbuh pelan-pelan, belajar pelan-pelan, dan rawat diri baik-baik. Dunia nggak nuntut kamu flawless. Dunia cuma butuh kamu tetap manusia.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.


Posting Komentar
Boleh banget tinggalin komentar di bawah. Kalau mau dapet kabar tiap ada yang bales, tinggal centang aja kotak “Beri Tahu Saya”. Simpel banget.