Antara Puskesmas dan Rumah Sakit: Refleksi Santai soal 144 Diagnosis BPJS
Saya sering ketemu pasien yang kelihatan bingung, bahkan sedikit panik waktu diberi tahu kalau penyakitnya belum bisa langsung ditangani di rumah sakit.
“Lho, kenapa nggak bisa dirujuk, dok?” begitu pertanyaan yang sering keluar.
Jawabannya sederhana, tapi kadang terasa rumit di telinga pasien: BPJS punya aturan tentang 144 diagnosis yang ditangani di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama).
Aturan ini sebenarnya bukan untuk mempersulit.
Justru sebaliknya: dibuat agar sistem kesehatan kita bisa lebih cepat, lebih merata, dan rumah sakit nggak penuh oleh kasus ringan yang sebenarnya bisa ditangani di puskesmas atau klinik.
Tapi tentu saja, teori di atas kertas nggak selalu sama dengan kenyataan di lapangan.
Ada rasa canggung, ada miskomunikasi, dan ada kebutuhan untuk saling memahami: antara pasien, dokter, dan kebijakan itu sendiri.
Jadi saya tulis ini, bukan buat menyalahkan siapa pun, tapi sekadar catatan reflektif dari apa yang saya lihat di lapangan.
Apa Itu 144 Diagnosis di FKTP?
Kalau dijelaskan singkat: BPJS Kesehatan menetapkan daftar diagnosis berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Artinya, ada penyakit-penyakit tertentu yang masih bisa (dan seharusnya) ditangani oleh dokter umum di FKTP tanpa perlu dirujuk ke rumah sakit.
Contohnya seperti ISPA ringan, maag, hipertensi tanpa komplikasi, dermatitis, konjungtivitis, atau luka ringan. Kasus-kasus semacam ini sebenarnya cukup sering terjadi dan bisa diselesaikan di level primer, asalkan fasilitas dan obatnya memadai.
Tujuannya jelas, memperkuat layanan kesehatan dasar agar masyarakat bisa ditangani cepat tanpa harus antre di rumah sakit untuk keluhan yang sebenarnya bisa diselesaikan di klinik.
Manfaat yang Diharapkan dari Aturan Ini
- Akses lebih cepat: pasien dengan masalah ringan nggak perlu menunggu lama di rumah sakit. Cukup datang ke puskesmas atau klinik terdekat.
- Efisiensi biaya: perawatan di FKTP jauh lebih hemat, baik bagi pasien, BPJS, maupun sistem kesehatan nasional.
- Pemerataan layanan: puskesmas di daerah terpencil bisa berfungsi sebagaimana mestinya, bukan hanya sebagai “pos singgah” menuju rumah sakit besar.
Kalau semua berjalan seperti rencana, sistem ini bisa bikin pelayanan kesehatan kita jadi lebih adil.
Tapi tentu, perjalanan ke arah sana nggak selalu mulus.
Tantangan di Lapangan
- Ketersediaan fasilitas: tidak semua FKTP punya alat pemeriksaan lengkap. Kadang laboratorium terbatas, kadang obatnya kosong.
- Kepercayaan pasien: masih banyak yang merasa “lebih aman” berobat langsung ke rumah sakit, karena menganggap dokter umum kurang mumpuni.
- Prosedur administrasi: kalau akhirnya memang harus dirujuk, prosesnya bisa makan waktu. Sementara pasien keburu cemas.
Di titik inilah sering muncul gesekan kecil.
Dokter di FKTP dianggap menolak pasien, padahal ia cuma menjalankan sistem yang ada.
Sementara pasien merasa diabaikan, padahal dokter sedang mencoba mengikuti aturan agar rujukan tepat sasaran.
Dari Sudut Pandang Tenaga Kesehatan
Sebagai petugas rekam medis, saya sering melihat dilema kecil di meja pendaftaran atau ruang konsultasi.
Dokter berusaha tenang menjelaskan bahwa penyakit pasien masih bisa ditangani di FKTP.
Tapi di sisi lain, ia juga sadar: pasien ingin kepastian, bukan prosedur.
Tenaga kesehatan di FKTP punya tanggung jawab besar, bukan hanya menyembuhkan, tapi juga membangun kepercayaan.
Mereka butuh pelatihan berkelanjutan, dukungan alat medis, dan sistem rujukan yang cepat agar tidak berada di posisi serba salah.
Di rumah sakit pun begitu.
Petugas administrasi sering menghadapi pasien yang datang tanpa rujukan resmi, lalu bingung ketika tidak bisa langsung dilayani.
Semua ini bukan semata soal regulasi, tapi tentang komunikasi dan rasa saling memahami.
Apa yang Bisa Diperbaiki?
Kalau mau kebijakan ini benar-benar terasa manfaatnya, ada beberapa hal yang bisa diperkuat:
- Pelatihan berkelanjutan untuk dokter dan tenaga medis FKTP agar penanganan tetap sesuai standar.
- Penyediaan alat dan obat yang memadai, supaya pasien nggak merasa “disuruh pulang tanpa hasil.”
- Edukasi masyarakat lewat media sosial, brosur, dan tenaga kesehatan langsung di lapangan.
- Prosedur rujukan cepat bagi kasus yang memburuk, tanpa berbelit administrasi.
Kalau FKTP kuat, semua akan lebih ringan.
Rumah sakit bisa fokus pada kasus yang memang berat, dan masyarakat nggak perlu merasa terpinggirkan.
Kuncinya: kolaborasi, bukan saling menyalahkan.
Refleksi Kecil
Di tengah semua aturan dan tabel diagnosis, kita kadang lupa: inti dari pelayanan kesehatan tetaplah kemanusiaan.
Pasien datang bukan cuma bawa gejala, tapi juga rasa takut.
Dokter bekerja bukan cuma dengan stetoskop, tapi juga empati.
Dan kebijakan, seberapapun teknisnya, tetap harus bisa diterjemahkan menjadi rasa aman bagi yang sakit.
Saya sering melihat puskesmas kecil di pelosok yang dengan alat terbatas tetap berusaha melayani sepenuh hati.
Ada kehangatan di sana, sesuatu yang kadang hilang di gedung rumah sakit besar.
Mungkin itu juga yang dimaksud BPJS saat memperkuat layanan primer: mengembalikan sentuhan manusia dalam proses penyembuhan.
Penutup
Kebijakan 144 diagnosis BPJS di FKTP memang bisa bikin orang mengernyit.
Tapi kalau dilihat dari sisi lebih luas, ini adalah upaya panjang untuk menata sistem kesehatan yang lebih efisien dan adil.
Tantangannya besar, iya.
Tapi potensinya juga sama besarnya.
Selama ada komunikasi yang jujur antara tenaga medis, pasien, dan pembuat kebijakan, saya percaya aturan ini bisa jalan dengan baik.
Karena pada akhirnya, kesehatan itu bukan sekadar angka dan diagnosis, tapi tentang bagaimana kita saling menjaga agar tetap punya harapan sembuh, di mana pun kita dirawat.
