Makan Bergizi Gratis: Ide Besar yang Bikin Kita Mikir Dua Kali
Belakangan ini, topik Makan Bergizi Gratis (MBG) lagi ramai banget.
Dari timeline X sampai FYP TikTok, semua orang punya pendapat sendiri: ada yang dukung penuh, ada juga yang skeptis.
Dan jujur, dua-duanya masuk akal.
Program ini idenya sederhana tapi besar banget: pemerintah ingin ngasih makanan bergizi gratis buat anak sekolah, balita, dan kelompok rentan seperti ibu hamil.
Tujuannya mulia, biar generasi Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan siap bersaing.
Tapi, kayak semua ide besar, MBG juga bikin kita mikir dua kali. Antara “ini keren banget” dan “tapi, bisa jalan nggak ya?”
Apa yang Membuat Program Ini Menarik
Di atas kertas, niatnya susah ditolak.
Angka stunting di Indonesia masih tinggi, dan banyak anak datang ke sekolah dengan perut kosong.
Bayangin kalau setiap anak dapat satu porsi makan bergizi setiap hari, nggak cuma bikin mereka lebih sehat, tapi juga lebih fokus belajar.
Plus, orang tua jadi agak lega karena satu urusan penting berkurang.
Kalau dijalankan dengan benar, MBG bisa jadi bentuk nyata dari “negara hadir untuk rakyatnya.”
Tapi, Tantangannya Nggak Kecil
Masalahnya, makan gratis buat jutaan orang itu bukan hal sepele.
Dari logistik, pengawasan, sampai anggaran semuanya bikin kepala pusing.
Estimasi biayanya bisa tembus ratusan triliun per tahun.
Dan seperti yang sering terjadi, makin besar anggaran, makin besar juga risiko penyimpangan.
Belum lagi soal pemerataan.
Indonesia luas banget, dan nggak semua daerah punya infrastruktur memadai.
Di kota mungkin gampang, tapi di pelosok?
Bisa jadi makanannya malah datang telat, atau kualitasnya nggak sesuai.
Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara udah punya program serupa, kayak Jepang dan India.
Mereka nggak langsung nembak semua kelompok, tapi mulai dari skala kecil dan berkembang pelan-pelan.
Mungkin di situ poin pentingnya nggak semua ide besar harus dijalankan sekaligus.
Kadang, bertahap justru bikin hasilnya lebih tahan lama.
Kalau Dijalankan Serius, Efeknya Bisa Luas
Bayangin kalau bahan makanannya disuplai petani lokal, ikannya dari nelayan sekitar, dan dimasak UMKM katering di daerah.
Uang negara nggak cuma keluar, tapi muter lagi di ekonomi masyarakat kecil.
Jadi bukan cuma program gizi, tapi juga penggerak ekonomi lokal.
Cuma ya itu tadi semuanya butuh transparansi dan niat baik dari awal.
Tanpa dua hal itu, MBG bisa jadi cuma proyek ambisius yang bagus di spanduk, tapi nggak terasa di meja makan anak-anak.
Refleksi Kecil
Bagi saya, ide kayak MBG ini penting buat dihidupkan.
Tapi mungkin perlu diingat: idealisme tanpa perhitungan bisa berubah jadi beban.
Sebaliknya, terlalu realistis tanpa keberanian juga bikin kita jalan di tempat.
Jadi, mungkin rumusnya sederhana: realistis di perencanaan, idealis di pelaksanaan.
Karena di antara niat baik dan kenyataan di lapangan, selalu ada ruang buat belajar lagi.
Kalau program ini sukses, kita bakal lihat anak-anak yang lebih sehat dan sekolah dengan semangat baru.
Tapi kalau gagal, ya setidaknya kita tahu: membangun bangsa nggak bisa cuma dengan ide besar, tapi juga kerja kecil yang konsisten.
