Kadang Kita Cuma Butuh Didengerin, Bukan Dikuliahi
Ada hari-hari ketika rasanya kepala penuh tapi hati kosong. Hari ketika suara di luar ribut, tapi suara di dalam diri jauh lebih berisik.
Terkadang kita cuma ingin duduk, narik napas panjang, lalu cerita sedikit tentang apa yang kita rasakan. Bukan untuk dicari solusinya secepat mungkin, bukan untuk disalahkan, bukan juga untuk diceramahi. Kita cuma ingin didengerin. Sesederhana itu.
Tapi lucunya, manusia punya kebiasaan aneh: ketika seseorang bercerita, kita refleks ingin memberi nasihat.
Entah itu karena kita merasa sedang membantu, atau karena kita tak tahu harus merespons apa. Padahal, nggak semua cerita butuh solusi.
Banyak dari kita hanya butuh ruang. Ruang untuk ngomong tanpa takut disalahpahami. Ruang untuk jujur tanpa takut dinilai. Ruang untuk sekadar melepas beban yang nggak kelihatan.
Kenapa Orang Lebih Suka Menguliahi daripada Mendengarkan?
Kadang saya berpikir, mungkin alasan kita cepat memberi nasihat itu karena kita nggak nyaman menghadapi perasaan orang lain.
Mendengarkan berarti memberi ruang pada emosi baik emosi orang lain maupun emosi kita sendiri. Nggak semua orang siap untuk itu.
Ada juga yang merasa kalau memberi saran itu tanda peduli. Seakan-akan kalau kita nggak kasih solusi, kita bukan teman yang baik.
Padahal kenyataannya, empati itu bukan soal siapa yang paling cepat memberi jawaban, tapi siapa yang tetap tinggal menemani saat jawaban belum ketemu.
Saya sendiri pernah ada di posisi itu rasanya cuma ingin cerita dan berharap seseorang mendengarkan tanpa menghakimi.
Tapi yang saya dapat justru daftar panjang tentang apa yang seharusnya saya lakukan. Di momen itu, saya cuma bisa tersenyum kecil sambil mikir, “Ya ampun, aku cuma pengen didengerin, bukan ikut kuliah sore.”
Didengerin Itu Menenangkan, Bahkan Sebelum Masalahnya Selesai
Ada sesuatu yang menenangkan ketika seseorang benar-benar mendengarkan kita. Nggak menyela. Nggak terburu-buru memberi solusi.
Nggak memasukkan pengalaman mereka sendiri ke dalam cerita kita. Mereka cuma ada di situ, bersama kita, mencoba mengerti perasaan yang sedang kita bawa.
Aneh memang, tapi sering kali, sebelum masalah selesai pun hati sudah terasa lebih ringan. Rasanya seperti ada pintu kecil yang terbuka, dan di baliknya ada sedikit ruang bernapas.
Mungkin karena kita merasa tidak sendirian. Mungkin karena akhirnya ada yang tahu apa yang kita simpan sendirian selama ini.
Saya pernah mengalami ini waktu lagi dalam masa yang berat. Saya cerita ke seorang teman, dan dia cuma bilang, “Aku dengerin ya. Kamu lanjutin aja.” Nggak ada nasihat, nggak ada teori psikologi mendadak, nggak ada perintah “kamu harus begini-begitu.” Anehnya, itu justru jadi percakapan paling menyembuhkan yang pernah saya alami.
Kadang, telinga yang terbuka lebih membantu daripada mulut yang penuh petuah.
Contoh-Contoh Kecil yang Sebenarnya Sering Banget Terjadi
Di rumah, misalnya. Anak cerita soal hari buruknya di sekolah, tapi yang keluar dari mulut orang tua malah: “Makanya kamu kalau belajar jangan main terus.” Padahal anak itu cuma lagi capek. Cuma butuh ditemenin sebentar.
Atau di hubungan. Pasangan bilang lagi sedih atau stres, tapi yang diterima justru solusi yang terkesan menggurui. “Kamu tuh terlalu sensitif.” “Harusnya kamu lakukan ini dari dulu.” Padahal dia cuma ingin pelukan.
Di pertemanan juga sama. Ada teman cerita capek kerja, tapi yang keluar malah ocehan seperti, “Ya semua orang juga capek.” Padahal yang dia butuhkan cuma tempat rehat sebentar.
Kita sering lupa bahwa empati tidak harus datang dalam bentuk jawaban. Kadang, ia hadir dalam bentuk kesediaan untuk diam dan mendengarkan.
Mendengarkan Bukan Hal Pasif. Itu Tindakan yang Aktif
Banyak orang mengira mendengarkan itu pasif seolah-olah kita cuma duduk dan menerima kata demi kata. Tapi kenyataannya, mendengarkan justru salah satu tindakan paling aktif dalam hubungan manusia.
Mendengarkan berarti kita memilih menahan ego untuk tidak mendominasi percakapan. Mendengarkan berarti kita berhenti berasumsi dan mulai memahami. Mendengarkan berarti kita memberi ruang, bukan tekanan.
Dan itu butuh kedewasaan. Butuh kesadaran. Butuh hati yang cukup luas untuk menampung cerita yang bukan milik kita.
Tips Agar Kita Bisa Jadi Pendengar yang Lebih Baik
Saya bukan ahli, tapi dari perjalanan panjang belajar mendengarkan, ada beberapa hal kecil yang ternyata banyak membantu:
- Jangan langsung kasih solusi. Tahan dulu. Tanya dulu, “Kamu mau aku dengerin atau mau minta saran?”
- Jangan menyela. Kadang niatnya baik, tapi menyela bikin orang merasa tak dihargai.
- Biarkan jeda. Diam sesekali bukan masalah. Justru memberikan ruang aman.
- Hindari membandingkan cerita. “Aku dulu lebih parah…” bukan kalimat yang menenangkan.
- Tunjukkan bahwa kita hadir. Anggukan kecil, kontak mata, atau sekadar “ya, aku dengerin” sangat membantu.
- Jangan menghakimi. Orang yang cerita bukan butuh hakim. Mereka butuh teman.
Hal-hal kecil seperti itu kelihatannya sederhana, tapi pengaruhnya besar banget dalam kehidupan sosial kita.
Sebagian Dari Kita Tidak Pernah Benar-Benar Didengarkan
Kadang saya berpikir, mungkin alasan kita begitu haus didengarkan adalah karena dari kecil banyak dari kita tidak benar-benar diberikan ruang untuk bicara. Kita dilarang mengeluh, diminta untuk “tough,” diharuskan untuk tampak kuat setiap saat.
Akhirnya, ketika dewasa, kita kebingungan mengelola perasaan sendiri. Kita ingin bicara, tapi takut merepotkan. Kita ingin terbuka, tapi takut dianggap manja. Makanya, ketika ada seseorang yang benar-benar mau mendengarkan tanpa menghakimi, itu terasa seperti kejutan yang menenangkan.
Tidak heran kalau banyak dari kita menangis bukan karena masalah terlalu besar, tapi karena untuk pertama kalinya, ada seseorang yang bilang, “Nggak apa-apa. Cerita aja.”
Mendengarkan Adalah Bentuk Cinta Paling Sederhana
Semakin dewasa, saya semakin percaya bahwa mendengarkan adalah salah satu bentuk cinta paling lembut dan paling tulus. Ia tidak ribut, tidak dramatis, tidak memaksa. Ia hadir dalam keheningan yang hangat.
Kadang cinta tidak datang dalam bentuk hadiah besar, tapi dalam bentuk seseorang yang mau menemani kita melewati malam-malam berat tanpa menuntut kita cepat-cepat baik-baik saja.
Kadang cinta bukan soal “aku punya solusi,” tapi soal “aku ada di sini.”
Jadi, Apa Kita Siap Jadi Pendengar yang Lebih Baik?
Dunia sudah terlalu penuh dengan suara yang ingin didengar, tapi terlalu sedikit telinga yang benar-benar mendengarkan. Mungkin sudah saatnya kita kembali mengingat bahwa setiap orang punya cerita, dan tidak semua dari mereka butuh kuliah tambahan.
Kadang, satu-satunya hal yang mereka butuhkan adalah seseorang yang mau duduk, menatap mata mereka, dan bilang, “Aku dengerin ya.”
Dan mungkin, itu juga hal yang diam-diam kita butuhkan selama ini.
Pertanyaan yang Sering Ditanyakan
1. Kenapa orang lebih sering memberi nasihat daripada mendengarkan?
Karena banyak orang merasa memberi solusi adalah bentuk kepedulian, padahal kadang itu justru menambah tekanan.
2. Apakah semua cerita butuh solusi?
Tidak. Banyak orang hanya ingin dimengerti dan diberi ruang untuk bicara.
3. Bagaimana agar kita tidak langsung memberi kuliah?
Tanya dulu apa yang mereka butuhkan: didengarkan atau butuh saran.
Akhir Kata
Kita semua sedang belajar, pelan-pelan, untuk menjadi manusia yang lebih hadir bagi orang lain. Dan salah satu langkah paling lembut yang bisa kita mulai hari ini adalah memilih untuk mendengarkan lebih banyak daripada menguliahi.
Karena pada akhirnya, semua orang cuma ingin didengerin. Termasuk saya. Termasuk kamu. Termasuk semua orang yang pernah merasa sendirian di tengah keramaian.
