Kadang yang Bikin Lelah Bukan Orangnya, Tapi Ekspektasimu Tentang Dia
Ada satu momen ketika aku duduk sendirian, lagi-lagi di depan layar ponsel, membaca ulang chat yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat dibaca ulang.
Dan di situ aku sadar satu hal: capekku bukan datang dari orangnya, tapi dari bayangan di kepalaku tentang bagaimana seharusnya dia bersikap.
Kita semua pernah punya ekspektasi yang kadang lahir tanpa diundang.
Ekspektasi kalau orang akan mengerti tanpa kita ngomong, kalau perhatian bakal muncul tanpa diminta, kalau kenyataan akan mengikuti skenario yang udah kita rancang rapi di kepala.
Dan ketika itu nggak terjadi... ya capek. Bukan karena dia jahat, bukan karena dia salah. Tapi karena kita sempat percaya “harusnya dia begini”.
Ekspektasi Itu Diam-Diam Berat
Lucunya, ekspektasi itu kayak ransel yang kita bawa tanpa sadar. Kita masuk hubungan, pertemanan, atau bahkan interaksi sehari-hari sambil bawa ransel itu.
Isinya macam-macam: harapan, asumsi, standar, bahkan imajinasi kecil yang nggak pernah diucapin.
Semua itu berat, tapi karena ranselnya transparan, nggak keliatan, kita pikir itu beban orang lain. Padahal itu barang-barang kita sendiri.
Aku pernah berharap seseorang bakal lebih peka. Bukan hal besar sih, cuma pengen dia nanya duluan kabar. Atau ngingetin makan.
Atau tau kalau aku lagi nggak baik-baik aja hanya dari “aku lagi sibuk” yang kukirim dengan emosi terselubung. Tapi dia ya… tetap jadi dirinya.
Dan rasa lelah mulai muncul bukan karena dia nggak perhatian, tapi karena aku terus menagih sesuatu yang nggak pernah dia janjikan.
Orang Lain Nggak Selalu Tahu Isi Kepala Kita
Kadang kita lupa: orang bukan cenayang. Mereka nggak otomatis paham maksud kita. Mereka nggak bisa selalu membaca tanda-tanda kecil yang buat kita jelas banget, tapi buat mereka mungkin invisible kayak notifikasi yang belum di-allow.
Ekspektasi bikin kita merasa kecewa sama hal yang sebenarnya bisa dihindari kalau kita dari awal jujur tentang kebutuhan. Tapi ya… namanya manusia.
Kita sering pengen orang ngerti tanpa disuruh. Kita ingin dimengerti “secara natural”. Padahal natural itu kadang cuma ada di film dan novel.
Nyatanya, komunikasi tetap jadi jalan paling pendek dan paling ampuh. Tapi kita sering paling malas lewat situ.
Ekspektasi Adalah Tentang Kita, Bukan Tentang Mereka
Hal yang paling bikin nyentil adalah saat aku sadar: ekspektasi sebenarnya lahir dari diri sendiri. Dari pengalaman masa lalu, dari standar pribadi, dari kebutuhan emosional, dari cara kita dibesarkan, semuanya berpengaruh.
Kita capek bukan karena orang itu kurang, tapi karena kita berharap dia memenuhi standar kita, bukan standarnya sendiri.
Ketika dia nggak sesuai, rasanya kayak menu favorit di kafe langganan tiba-tiba rasanya hambar. Kita panik dan kesel, padahal bisa jadi lidah kita aja yang lagi beda hari itu.
Makin aku merenung, makin aku ngerti bahwa ekspektasi itu halus banget cara kerjanya. Dia menyusup tanpa kita sadari, lalu pelan-pelan bikin kita merasa “kok aku terus yang mengerti?” atau “kok dia nggak berubah-ubah?”. Padahal dia ya memang begitu dari awal.
Menerima Orang Apa Adanya Tanpa ‘Harusnya’
Ada rasa lega yang aneh ketika kita mulai menerima kenyataan bahwa seseorang nggak harus seperti yang kita pikirkan. Mereka punya cara sendiri untuk sayang, perhatian, marah, sibuk, atau memproses dunia.
Kalau kita ngotot pakai kacamata kita untuk melihat mereka, ya kita akan terus menemui kecewa. Tapi kalau kita mulai belajar melihat dari sudut pandang mereka, atau minimal berhenti mendesak dalam hati, beban rasanya turun. Pelan-pelan, tapi terasa.
Menerima bukan berarti mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Bukan, bukan itu. Menerima artinya sadar bahwa orang punya batas, dan kita juga punya.
Kalau butuh sesuatu, bilang. Kalau nggak cocok, ya cari titik tengah. Kalau tetap nggak ketemu? Ya valid juga buat mundur.
Tapi jangan menyiksa diri dengan berharap seseorang berubah hanya karena kita ingin. Itu unfair. Buat dirinya, buat kita juga.
Kenalan Dengan Ekspektasi Diri
Sejak menyadari bahwa akar kecapekan itu datang dari ekspektasi sendiri, aku mulai belajar kenalan sama pola pikirku.
Oke… kalau aku merasa kesal, itu karena ekspektasiku apa? Kalau aku mendadak sedih, standar apa yang tidak terpenuhi? Kalau aku merasa diabaikan, apa aku sudah mengkomunikasikan kebutuhanku sejak awal?
Pertanyaan-pertanyaan itu bantu aku buat melihat lebih jernih. Ternyata banyak hal yang kubawa sendiri tanpa orang itu tahu. Dan itu bukan salah dia. Itu hanya perlu dibereskan oleh aku sendiri.
Pelan-pelan aku mulai ngeh bahwa ekspektasi yang terlalu tinggi bikin hubungan berjarak. Ekspektasi yang terlalu rendah bikin hubungan hambar.
Ekspektasi yang realistis itu yang justru bikin hubungan sehat. Dan realistis bukan berarti dingin, tapi selaras dengan kenyataan.
Belajar Untuk Tidak Mengambil Hati Berlebihan
Satu hal lagi: hidup jadi lebih enteng ketika kita tidak mengambil hati berlebihan. Ketika seseorang tidak merespon secepat yang kita mau, bisa jadi dia lagi capek.
Bukan karena dia nggak peduli. Ketika seseorang nggak peka, bisa jadi itu memang bukan skill-nya. Bukan karena perasaannya dangkal. Ketika seseorang lupa, bukan berarti kita tidak penting. Bisa jadi dia hanya manusia biasa...
Dan ketika kita berhenti mengaitkan semuanya dengan diri sendiri, banyak kelelahan emosional yang akhirnya ikut hilang.
Penutup: Kadang Kita Cuma Perlu Turunin Volume Ekspektasi
Pada akhirnya, mungkin bukan orangnya yang bikin kita ngos-ngosan. Kadang cuma volume ekspektasi kita yang terlalu gede kayak speaker konser padahal ruangannya cuma seukuran kamar kos.
Turunin volumenya pelan-pelan. Lihat orang dari perspektif yang lebih lembut. Terima bahwa semua orang sedang berproses dengan cara dan kecepatannya masing-masing.
Dan kalau kamu lagi capek sama seseorang, coba berhenti sejenak dan tanya ke diri sendiri: “Yang bikin capek dia? Atau harapanku tentang dia?” Jawabannya sering lebih jujur dari yang kita kira.
Nggak apa-apa kalau selama ini kamu terlalu berharap. Itu manusiawi. Tapi sekarang, mungkin saatnya belajar untuk berharap secukupnya dan berkomunikasi seperlunya.
Biar hati lebih enteng, langkah lebih ringan, dan hubungan lebih sehat.
