Ketika Kasus Perundungan Makin Marak, Respons Pemerintah Perlu Lebih dari Sekadar Imbauan
Aku akhir-akhir ini sering merasa sedih tiap baca berita soal perundungan.
Rasanya nggak ada minggu tanpa muncul kasus baru: di sekolah, di kampus, bahkan di lingkungan kerja.
Bentuknya macam-macam, mulai dari ejekan sampai kekerasan fisik.
Dan yang bikin hati makin berat adalah ketika korban tidak berani bersuara atau mendapat perlakuan yang seolah-olah “biasa saja”. Padahal nggak ada yang biasa dari rasa takut.
Melihat maraknya kasus perundungan, pemerintah memang sudah memberi respons.
Ada imbauan, ada kampanye anti-bullying, ada regulasi yang diperkuat.
Tapi sebagai orang yang mengikuti berita dan hidup di tengah masyarakat, aku kadang merasa upaya itu masih belum benar-benar menyentuh akar masalah.
Masih banyak ruang kosong yang belum terisi, dan masih ada pertanyaan kecil dalam hati: apakah semua ini akan cukup?
Ketika Perundungan Tak Lagi Bisa Dianggap Kasus Individual
Perundungan itu bukan cuma tentang satu anak yang mengejek anak lain. Ia bagian dari pola besar.
Ada lingkungan yang membiarkan, ada orang dewasa yang menyepelekan, dan ada sistem yang sering terlambat merespon.
Ketika berita perundungan makin banyak muncul, itu tanda bahwa ada bagian dari ekosistem sosial kita yang sedang rapuh.
Beberapa orang mungkin berkata, “Dari dulu juga ada perundungan.” Iya, benar.
Tapi hari ini situasinya berbeda. Dengan media sosial, luka bisa tersebar dan membesar lebih cepat dari yang dibayangkan.
Dan dampaknya tidak berhenti ketika korban pulang ke rumah. Bentuknya bisa jadi komentar jahat, rekaman yang tersebar, atau tekanan psikologis yang menumpuk diam-diam.
Maka ketika pemerintah merespons, kita ingin sesuatu yang terasa nyata.
Bukan hanya kampanye sesaat atau poster yang memuat slogan.
Kita ingin pendekatan yang membuat korban merasa aman, pelaku mendapat pembinaan, dan sekolah atau kantor punya sistem penanganan yang jelas.
Respons Pemerintah: Baik, Tapi Masih Terasa Jauh
Aku tidak menutup mata bahwa pemerintah sudah mengambil langkah-langkah tertentu.
Ada regulasi yang diperbarui, ada koordinasi dengan sekolah, dan ada program yang tujuannya mencegah perundungan.
Tapi kalau melihat berita yang muncul hampir tiap minggu, aku jadi bertanya-tanya: apakah langkah itu benar-benar sampai ke lapangan?
Masalah terbesar dari kebijakan kadang bukan pada niat, tapi pada implementasi. Di atas kertas semua terlihat rapi. Tapi begitu masuk ke ruang kelas, yang terjadi bisa jauh berbeda.
Guru kelelahan, orang tua tidak menyadari perubahan sikap anak, dan sekolah lebih fokus pada administrasi dibanding membangun lingkungan aman.
Mungkin itulah kenapa respons pemerintah kadang terasa seperti gema: terdengar, tapi cepat hilang.
Yang Kita Butuhkan: Tindakan Nyata, Bukan Sekadar Seremonial
Menurutku, mencegah perundungan bukan cuma soal meluncurkan program atau membuat aturan.
Ini tentang membangun budaya baru.
Dan budaya tidak lahir dari spanduk atau seminar tiga jam.
Ia tumbuh dari kebiasaan kecil yang konsisten: guru yang mendengar, sekolah yang tegas pada pelaku, orang tua yang membuka ruang diskusi, dan masyarakat yang tidak menormalisasi kekerasan.
Respons pemerintah idealnya mengarah ke situ.
Bukan hanya “ayo cegah bullying”, tapi menghadirkan alat konkret: kurikulum yang memasukkan pendidikan empati, pelatihan untuk guru, SOP penanganan yang jelas, dan mekanisme pengawasan yang tidak hanya aktif ketika viral.
Karena kalau sistem baru bergerak ketika kasusnya trending, itu artinya kita lebih takut pada opini publik daripada peduli pada korban.
Perundungan Bukan Sekedar Soal Salah Siapa
Kalau kita bicara soal perundungan, pertanyaannya bukan hanya siapa pelakunya.
Tapi kenapa ia terjadi?
Apa yang membuat seseorang merasa wajar merendahkan orang lain?
Kenapa lingkungan tidak mencegah?
Dan kenapa korban memilih diam?
Dalam banyak kasus, pelaku juga muncul dari lingkungan yang keras.
Mereka belajar dari contoh: dari rumah, dari teman, dari budaya yang membanggakan kekerasan verbal sebagai tanda “keberanian”.
Pemerintah tidak bisa menangani ini sendirian.
Tapi pemerintah bisa jadi pengarah jalurnya.
Alih-alih hanya memberi imbauan, program yang menanamkan nilai empati sejak kecil akan jauh lebih berdampak.
Karena empati adalah musuh alami perundungan.
Mimpi Tentang Lingkungan yang Aman dan Manusiawi
Aku suka membayangkan masa depan di mana berita perundungan menjadi semakin jarang.
Di mana anak-anak bisa sekolah tanpa takut diejek, teman kantor bekerja tanpa takut direndahkan, dan dunia maya tidak menjadi arena saling serang.
Itu mungkin terdengar idealis, tapi bukan mustahil. Asal ada kerja sama antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan kita sebagai individu.
Pemerintah punya peran besar dalam membangun sistem dan aturan. Tapi kita yang hidup di masyarakat juga punya peran dalam membentuk atmosfernya.
Mungkin ini terdengar sederhana, tapi perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil: memilih untuk tidak merendahkan, memilih untuk tidak ikut menyebarkan rekaman, memilih untuk mendengar cerita teman, memilih untuk peduli.
Penutup: Kita Semua Punya Peran
Melihat berita perundungan yang muncul terus-menerus itu melelahkan. Tapi justru karena melelahkan, kita butuh respons yang lebih tegas, lebih terukur, dan lebih manusiawi.
Pemerintah sudah memulai, tapi perjalanan masih panjang. Kita butuh gerakan yang tidak hanya muncul ketika viral, tapi hadir setiap hari di kelas, di rumah, di ruang kerja.
Mencegah perundungan bukan tentang mencari siapa yang paling salah. Tapi tentang memastikan tidak ada lagi orang yang merasa sendirian menghadapi kekerasan.
Dan mungkin, di situ letak pekerjaan kita bersama: membangun ruang yang aman, pelan-pelan, tapi konsisten. Karena setiap orang layak merasa aman di dunia yang semakin bising ini.
