Sistem Rujukan BPJS: Kadang Bikin Pusing, Tapi Ada Alasannya
Aku selalu merasa sistem rujukan BPJS itu kayak jalanan kota besar: arahnya jelas, tujuannya baik, tapi kadang bikin muter dulu sebelum sampai.
Ada yang pernah juga ngerasain begitu?
Rasanya kayak udah capek, pengin cepat, tapi tetap harus ngikutin alur langkah demi langkah.
Tapi makin ke sini, aku sadar kalau sistem rujukan itu memang tidak dirancang untuk buru-buru.
Rujukan itu dibuat bukan untuk memperlambat pasien, tapi untuk menertibkan layanan supaya tidak semuanya numpuk di satu titik.
Kalau dipikir ulang, tanpa rujukan bisa-bisa rumah sakit besar langsung penuh dari pagi, sementara pasien yang beneran butuh penanganan spesialis malah keteteran.
Kenapa Sistem Rujukan Terasa Ribet?
Kalau mau jujur, keribetan itu biasanya muncul karena tiga hal: ketidaktahuan, ekspektasi, dan keterbatasan.
Terdengar simpel, tapi realitanya lumayan kompleks.
Pertama, banyak pasien belum terlalu paham aturan rujukan BPJS.
Mereka datang dengan rasa sakit yang dianggap “darurat”, padahal secara medis belum tentu masuk kategori itu.
Pasien hanya tahu tubuhnya sedang tidak enak, dan wajar kalau mereka ingin cepat ditangani.
Tapi sistem BPJS punya definisi khusus soal apa yang masuk gawat darurat atau perlu dirujuk.
Kedua, ekspektasi. Ada orang yang berpikir kalau pengin ke spesialis, ya harus bisa segera.
Tapi dokter di faskes tingkat pertama itu sebenarnya menjalankan fungsi penyaringan.
Mereka memastikan apakah keluhan pasien beneran butuh pemeriksaan lanjutan atau bisa diselesaikan di FKTP.
Ketiga, keterbatasan. Baik pasien, tenaga kesehatan, maupun fasilitasnya.
Kadang jaringan PCare error, kadang poli penuh, kadang alat pemeriksaan sedang tidak bisa digunakan. Ini bikin alur rujukan jadi terlihat semakin ribet.
Dan jujur aja, dari sisi petugas kesehatan sendiri, mereka sering berada di tengah-tengah: antara aturan, kondisi lapangan, dan tekanan dari pasien. Tidak mudah, tapi begitulah kenyataannya.
Fungsi Sistem Rujukan Itu Apa Sih?
Nah, ini yang sering terlewat. Sistem rujukan dibuat supaya pasien dapat layanan kesehatan sesuai dengan tingkat kebutuhan medisnya. Istilah kerennya “berjenjang”.
Mulai dari FKTP, lalu ke rumah sakit tingkat pertama, sampai akhirnya ke rumah sakit rujukan lebih tinggi jika diperlukan.
Kalau rujukan tidak dilakukan secara berjenjang, efeknya bisa panjang banget.
Rumah sakit besar bisa langsung padat dari pagi, antrian pasien tidak terkendali, dan sumber daya kesehatan jadi tidak terdistribusi dengan baik.
Tujuan lainnya adalah memastikan diagnosis awal dilakukan dengan benar. FKTP itu sebenarnya fondasi.
Di sana keluhan pertama kali ditangani, riwayat pasien dicatat, dan dokter menentukan arah perawatan berikutnya. Tanpa ini, layanan bisa jadi tumpang tindih.
Dan kalau kita pikir dari sisi negara, ini adalah bentuk upaya mengatur ribuan fasilitas kesehatan supaya berjalan harmonis. Nggak kebayang kalau semuanya bebas tanpa alur.
Ketika Pasien dan Sistem Tidak Ketemu
Ada kalanya, pasien datang dengan harapan tinggi, sementara sistem tidak bisa langsung mengakomodasi itu. Di sinilah sering terjadi gesekan.
Misalnya: pasien merasa butuh rujukan, dokter menilai bisa ditangani dulu di FKTP. Atau sebaliknya, dokter menyarankan rujukan, tapi pasien takut prosedurnya panjang.
Salah paham juga bisa muncul dari komunikasi yang kurang jelas. Kadang dokter sudah menjelaskan, tapi pasien salah tangkap.
Kadang petugas sudah mengarahkan, tapi pasien tetap bingung. Ini wajar terjadi karena kondisi kesehatan itu sensitif. Orang sakit biasanya ingin kejelasan cepat, bukan diagram alur.
Menurutku, salah satu hal paling penting dalam sistem rujukan adalah komunikasi yang manusiawi.
Pasien perlu penjelasan yang mudah dimengerti, dan tenaga kesehatan perlu ruang untuk menjelaskan dengan tenang. Kalau dua hal ini sinkron, rujukan tidak lagi terlihat seribet itu.
Darurat Tetap Darurat
Ini poin yang sering dilupakan: tidak semua kondisi harus lewat rujukan. Kalau benar-benar gawat darurat dan mengancam nyawa, pasien bisa langsung ke IGD rumah sakit tanpa surat rujukan.
Banyak yang belum tahu soal ini. Mereka takut dianggap “melanggar prosedur”, padahal aturan BPJS jelas membolehkan bypass rujukan saat kondisi gawat.
Misalnya: pendarahan hebat, kecelakaan, sesak napas berat, atau kondisi yang butuh penanganan segera.
Justru di sinilah peran penting edukasi. Makin banyak orang ngerti soal ini, makin sedikit drama di lapangan.
Apa yang Menentukan Pasien Dirujuk atau Tidak?
Bukan faktor “ingin”, tapi faktor “perlu”. Rujukan itu diberikan berdasarkan indikasi medis.
Dokter akan menilai gejala, hasil pemeriksaan, riwayat pasien, hingga fasilitas yang tersedia di FKTP. Kalau alat atau layanan tidak mampu menangani keluhan tertentu, barulah dibuatkan rujukan.
Dokter bukan menahan pasien supaya tidak dirujuk. Mereka hanya memastikan bahwa rujukan itu tepat sasaran dan tidak dibuat sembarangan.
Karena setiap rujukan adalah tanggung jawab administratif dan medis yang besar.
Dan yang perlu diingat: rujukan itu bukan jaminan kalau pasien pasti dapat perawatan instan di rumah sakit. Rumah sakit juga punya kuotanya sendiri.
Rujukan itu hanya pintu masuk, bukan bypass antrian.
Mimpi Tentang Sistem Rujukan yang Lebih Luwes
Kalau boleh berharap, sistem rujukan ideal itu seperti teman yang ngerti kondisi kita: fleksibel, cepat tanggap, dan tidak ribet.
Tapi ya namanya sistem kesehatan negara, tentu banyak faktor yang bermain. Mulai dari anggaran, jumlah tenaga kesehatan, infrastruktur, sampai regulasi.
Namun harapan itu tetap penting. Makin ke depan, Indonesia pelan-pelan bergerak ke arah digitalisasi layanan kesehatan.
Banyak alur yang dulu manual kini sudah lebih ringkas. Tinggal bagaimana memastikan transisi itu merata, tidak hanya di kota besar.
Bayangin kalau suatu hari nanti, rujukan bisa otomatis sinkron, poli bisa dicek real time, dan pasien bisa tahu antrian sebelum datang.
Semuanya bisa jadi lebih manusiawi.
Bagaimana Kita Menyikapinya?
Menurutku, kuncinya ada di tiga hal: sabar, paham alur, dan komunikasi. Sabar bukan berarti pasrah, tapi memberi ruang buat proses berjalan.
Paham alur supaya kita tahu kapan harus ke FKTP, kapan bisa ke IGD, dan kapan perlu menunggu hasil pemeriksaan dulu.
Dan komunikasi supaya tidak terjadi salah paham antara pasien, petugas, dan dokter.
Sistem rujukan BPJS mungkin belum sempurna. Tapi dia ada karena dibutuhkan.
Dia bukan untuk menghambat, tapi untuk menata. Bahkan kalau kita kadang merasa seperti “ditahan”, sebenarnya itu bagian dari penyaringan medis.
Pada akhirnya, rujukan itu bukan soal kertas yang dibubuhi stempel. Tapi bagian dari perjalanan seseorang menuju sembuh.
Dan perjalanan itu memang tidak selalu lurus, tapi tetap punya arah.
Selama kita tidak hilang di tengah alurnya, semuanya bisa dilewati. Pelan-pelan aja. Yang penting sampai.
