Kalau Nggak Suka Suasana, Ubah. Kalau Nggak Bisa Ubah, Ubah Cara Pandang. Kalau Dua-Duanya Nggak Bisa, Ngopi Dulu
Ada momen ketika hidup rasanya kayak ruangan berisik yang pintunya nggak bisa ditutup.
Kamu cuma pengin tenang, tapi suara-suara itu tetap masuk entah itu dari orang sekitar, situasi yang nggak sesuai harapan, atau pikiranmu sendiri yang lagi cerewet.
Dan pada titik itu, seseorang pernah bilang sesuatu yang sederhana tapi nancep banget:
“Kalau nggak suka suasananya, ubah. Kalau nggak bisa ubah, ubah cara pandang. Kalau dua-duanya nggak bisa… ya udah, ngopi dulu.”
Awalnya saya ketawa. Tapi lama-lama, kalimat itu masuk akal.
Hidup memang nggak selalu kasih kita kendali penuh atas semua hal, tapi tetap memberi ruang kecil untuk memilih bagaimana kita menghadapi semuanya.
Entah dengan keberanian mengubah, kebijaksanaan menerima, atau jeda kecil buat menenangkan kepala.
Suasana Itu Nggak Selalu Bisa Dipilih
Kadang kita terjebak di lingkungan yang rasanya nggak cocok: tempat kerja yang vibes-nya bikin sesak, pertemanan yang makin lama makin asing, rutinitas yang terasa hambar, atau rumah yang sedang dipenuhi tensi tak terlihat.
Nggak satu pun dari situasi itu selalu bisa kita hindari. Karena nggak semua suasana hadir berdasarkan pilihan kita. Kadang hidup ngasih kita “ruangan” lebih dulu, lalu bertanya: “Kamu mau apa sekarang?”
Dan di sinilah dilema dimulai: apakah kita harus mengubah suasananya? Atau kita yang harus menyesuaikan diri?
Ketika Mengubah Suasana Adalah Pilihan yang Tepat
Ada kalanya kita memang perlu berdiri dan bilang, “kayaknya aku harus ngubah sesuatu.” Misalnya:
- Pindah dari lingkungan yang bikin kita kehilangan jati diri.
- Menata ulang rutinitas yang sudah bikin mental remuk.
- Mengatur ulang batasan agar orang lain nggak seenaknya masuk ke hidup kita.
- Keluar dari circle yang lebih suka drama daripada kedamaian.
- Menegur seseorang dengan cara baik-baik demi menjaga suasana tetap sehat.
Mengubah suasana bukan berarti kita keras kepala atau egois. Kadang itu bentuk cinta terhadap diri sendiri. Bukan untuk menang, tapi untuk tetap waras.
Dan anehnya, sering kali suasana baru itu sudah menunggu kita. Kita cuma harus punya keberanian buat buka pintu dan masuk.
Ketika Mengubah Suasana Mustahil, Cara Pandanglah yang Harus Diatur
Tapi ada hari-hari ketika suasana itu memang nggak bisa kita apa-apain. Misalnya:
- Kantor ribut karena target mendekati deadline.
- Rumah lagi tegang karena kondisi yang nggak bisa kamu kendalikan.
- Orang-orang sekitar lagi bawa energi yang nggak masuk ke kamu.
- Dunia lagi chaos dan kamu cuma bisa ikut berputar.
Pada situasi seperti itu, memaksa diri mengubah keadaan hanya akan bikin kita capek dua kali lipat. Maka pilihan kedua muncul: mengubah cara pandang.
Cara pandang itu semacam filter. Bukan membuat masalah hilang, tapi membantu kita melihatnya dengan jarak yang lebih sehat. Seperti ngelap kacamata yang tadinya berminyak dunia tetap sama, tapi kamu melihatnya lebih jelas.
Kadang mengubah cara pandang berarti menerima. Kadang berarti memaklumi. Kadang berarti memprioritaskan. Dan sering kali berarti memaafkan, terutama diri sendiri.
Mengubah Cara Pandang Bukan Berarti Pasrah
Banyak orang salah paham, mengira mengubah cara pandang itu bentuk kelemahan. Padahal justru sebaliknya. Itu bentuk kebijaksanaan.
Karena orang kuat bukan cuma mereka yang bisa mengontrol keadaan, tapi juga mereka yang bisa tetap tenang meski keadaan nggak bersahabat.
Dan kadang, ketenangan itu datang dari cara kita “menaruh” masalah di kepala apakah kita membesarkan, mengecilkan, atau meletakkannya di tempat yang tepat.
Kalau Dua-Duanya Nggak Bisa, Ya Ngopi Dulu
Jujur aja, ada momen ketika kita nggak sanggup ngapa-ngapain. Mau ubah suasana rasanya berat. Mau ubah cara pandang pun nggak kuat. Kepala terlalu penuh, hati terlalu lelah, energi sedang minim.
Pada titik itu, kita butuh jeda. Dan jeda itu kadang hadir dalam bentuk paling sederhana: secangkir kopi.
Saya bukan bicara soal kafe-kafe estetik atau kopi mahal. Bahkan kopi sachet yang diseduh buru-buru pun bisa jadi momen “selamatkan hari ini”. Karena yang penting bukan kopinya, tapi ritual jedanya.
Ketika kita berhenti sejenak untuk membuat kopi, hidup berhenti mengejar kita walau cuma lima menit. Dan lima menit itu kadang cukup buat bikin masalah terasa lebih jinak.
Ngopi Itu Bukan Lari, Tapi Menyusun Napas
Kita sering merasa bahwa berhenti sebentar itu tanda kelemahan. Padahal justru itu bentuk paling sederhana dari self-preservation.
Ngopi itu bukan kabur. Itu cara kita bilang ke diri sendiri: “Tunggu sebentar, aku lagi ngumpulin tenaga.”
Kadang setelah satu gelas kopi, tiba-tiba ide muncul. Atau hati jadi lebih lapang. Atau kita sadar bahwa apa yang tadi terasa berat, sebenarnya cuma butuh dilihat dari sudut berbeda.
Ada juga momen ketika kopi tidak menyelesaikan masalah apa pun, tapi dia membuat kita lebih siap menghadapi masalah itu. Dan itu cukup.
Hidup Memang Tentang Tahu Kapan Bertindak dan Kapan Istirahat
Kita sering memaksa diri bertindak terus. Berjuang terus. Menganalisis terus. Sampai lupa bahwa manusia itu butuh berhenti sejenak. Karena hidup bukan soal terus bergerak, tapi soal kapan harus bergerak dan kapan harus diam.
Ada situasi yang harus dihadapi dengan keberanian. Ada situasi yang harus dihadapi dengan kebijaksanaan. Dan ada situasi yang cukup kamu hadapi dengan secangkir kopi untuk sekarang.
Keseimbangan itu yang membuat hidup tetap manusiawi.
Kamu Boleh Lelah. Kamu Boleh Bingung. Kamu Boleh Berhenti Sebentar.
Kita sering terlalu keras pada diri sendiri. Rasanya harus bisa semuanya sekaligus. Harus kuat, harus paham, harus waras, harus responsif.
Padahal kenyataannya, kita manusia. Manusia yang kadang nggak suka suasana. Manusia yang kadang nggak bisa mengubah keadaan. Manusia yang kadang butuh jeda.
Dan nggak apa-apa.
Menyerah itu berbeda dengan istirahat. Mengambil jeda justru bikin kita lebih siap mengambil langkah yang lebih tepat setelahnya.
Sederhananya, Hidup Itu Fleksibel
Kalau kamu bisa ubah situasinya lakukan. Kalau nggak bisa coba ubah cara pandang. Kalau dua-duanya mentok, ngopi dulu.
Hidup memang kadang ribut, kadang ramah. Kadang cepat, kadang lambat. Dan satu-satunya cara bertahan adalah dengan tetap menyesuaikan langkah sambil menjaga diri agar tidak habis dimakan keadaan.
Kamu punya hak untuk memilih cara menghadapi hari ini. Kamu nggak harus sempurna. Kamu cuma perlu jujur sama diri sendiri dan memberi ruang untuk bernapas.
Penutup: Semua Hal Punya Ritmenya, Kamu Juga
Pada akhirnya, hidup bukan soal menghindari suasana buruk. Tapi tentang bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri saat suasana itu datang.
Kita nggak selalu bisa mengatur situasi, tapi kita selalu bisa memilih respon. Entah dengan tindakan, pemaknaan, atau jeda. Dan selama kita mau mengambil salah satu dari itu, hidup akan terasa sedikit lebih ringan untuk dijalani.
Dan kalau hari ini terasa berat, ingat kalimat sederhana ini: “Kalau suasana nggak enak, ubah. Kalau nggak bisa, ubah cara pandang. Kalau dua-duanya susah… ya ngopi dulu.”
Pelan-pelan. Kamu nggak harus kuat sepanjang waktu.
